November 21, 2012

The Unspoiled Curug Cikaracak

Pernah dengar nama Curug Cikaracak?  Curug ini emang sama sekali ngga tenar. Biasa ajah dibanding dengan Curug Cikaso dan Curug Cigangsa di Ujung Genteng atau Curug Malela di Bandung Barat. Tapi buat gue curug ini beda dengan yang lain in terms of ' the journey reaching this place'. Gue sendiri lupa udah berapa kali ke tempat ini dengan orang-orang yang berbeda, tapi setiap kali kesini adventurenya pasti berbeda-beda.

Kenapa gue suka dengan Curug Cikaracak, definitely bukan karena cantiknya karena memang biasa banget seperti di awal gue bilang tapi lebih ke trekking menuju ke Curug dan tempat ini sama sekali tidak komersil alias nggak bayar at least sampe sekarang dan dekat dari Jakarta. And just for a short escape from Jakarta pollution, this place is just perfect for me. Curug Cikaracak yang lokasinya di Dusun Cibeling, Desa Cinagara, Kecamatan Caringin, Bogor, Jawa Barat ini masuk ke dalam wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jaraknya sekitar 15km dari Ciawi mengarah ke Sukabumi atau 5km dari Talang Air Cisempur (Talang 3). 

All Photos - Courtesy of : Ivy & Aniss
Untuk menuju ke sana bisa dengan pakai mobil atau motor. Tapi yang biasanya gue dan teman2 lakukan kalo datang kesini adalah dengan menggunakan angkot yang disewa (pp) dari Ciawi. Gue ngak nyaranin untuk naik kendaraan pribadi karena 1 km terakhir menuju Dusun Cibeling jalannya off road berbatu dan berlumpur. Dan pada saat gue kesana barengan Ivy, Aniss dan Ndok naik mobil pribadi menghasilkan baret di bemper depan serta bagian bawah mobil yang terkena benturan berkali-kali :D.

 
Dari Dusun Cibeling, yang adalah dusun terakhir dilewati, kita ber-4 trekking menuju ke Curug Cikaracak sepanjang 3 km melewati jalan setapak menyusuri pematang sawah, kebun, keluar masuk sungai yang berbatu dan berair jernih dan kawasan hutan Taman Nasional yang becek dan kadang tanahnya tidak keras sehingga ketika diinjak langsung jeblos :D. Perjalanan dari Dusun terakhir ke Curug Cikaracak adalah sekitar 1,5 jam berjalan santai atau sekitar 2 jam lebih kalau santai banget plus foto-foto hehehhehe.

Disepanjang jalan pemandangan pohon - pohon hijau yang baru diguyur hujan nambah seru perjalanan. Tampak jauh monyet-monyet gelantungan asyik makan jambu air yang sedang berbuah lebat banget. Uhh, seruw banget tuh kalo bisa ngerujak heheheh #salah fokus. Pohon cabe yang baru saja di tanam juga tampak segar sehabis diguyur hujan. Sekitar 200 meter sebelum masuk ke Papan Kawasan Taman Nasional ada segerombolan anak2 remaja yang lagi camping ngingetin kita ber-4 kalao mau ke curug harus hati-hati karena banyak tanah longsor akibat hujan beberapa minggu yang lalu. 

Ini yang paling gue suka dengan perjalanan ke Curug Cikaracak, soalnya sudah berkali-kali gue kesini trekkingnya pathnya pasti 'ganti-ganti' terutama setelah masuk ke kawasan Taman Nasional. Entah karena ketutup karena sudah lama tidak didatangi atau pohon tumbang akibat longsor. Yang paling extreme adalah ketika jalan kami benar-benar terhalang oleh ranting-ranting kayu dari pohon yang tumbang karena tanah longsor. Dan dengan sangat terpaksa kami harus berjalan di atas sungai yang sudah tertutup ranting-ranting tersebut.

Sesampainya di Curug Cikaracak, seperti biasa tidak ada siapa-siapa hanya gue dan ketiga teman yang lain. Saat itu debit air tidak terlalu kencang tapi masih terasa percikan airnya. Curug itu masih ada dengan segala kesederhanaannya tanpa saung-saung yang menghiasi sekeliling tapi sayangnya sampah-sampah masih ada disekitar walau tidak terlalu banyak.



















Emang bener Curug Cikaracak itu biasa aja, tapi buat gue yang menjadikannya luar biasa adalah perjalanan menuju ke Curug tersebut. Cause sometimes the journey does matter a lot than the destination itself.




November 13, 2012

Catatan Perjalanan: Sendirian ke Togean

Kenapa judulnya seperti itu, karena seharusnya gue pergi ber-dua, teman gue ketinggalan pesawat akhirnya gue pergi sendiri deh. I'm not worry of going anywhere alone cuma yang jadi concern gue adalah kalo ada teman kan bisa sharing heheheh. Well, here you go the story.....

Hari ke-1: Tiba di Gorontalo
Udara panas tengah hari bolong menyambut kedatangan gue dan dua kakak adik, Dewi & Ovie (baru kenal di pesawat) di Airport Jalaluddin, Gorontalo. Setelah bagasi lengkap kami langsung ke luar dan menunggu kedatangan jemputan Dewi dan Ovie. Gue juga diajak untuk barengan ke kota *lumayan lah ngirit :D. Dan memang ternyata jarak airport ke kota Gorontalo kurang lebih 40km dengan waktu tempuh 1 jam. Kota ini sepi padahal waktu menunjukkan pukul 1.30 siang. Ternyata jam segini itu penduduk Gorontalo pada molor, semacam Siesta gitu deh :D

Gorontalo view
Gue berpisah dengan Dewi dan Ovie di Gorontalo Mall kemudian lanjut naik bentor ke Pelabuhan Ferry dan mendapati loket tiket masih tutup baru akan buka jam 4 sore, sementara sekarang masih jam 3 sore... males juga nih nunggu di pelabuhan yang sepi kek gini. Akhirnya gue memutuskan balik lagi ke kota setelah di info kalo mau beli tiket malam ini masih bisa jam 6 sore. Karena waktunya juga ngga banyak jadi gue rada males untuk keliling kota. Kembali ke kota, gue memutuskan untuk beristirahat, makan sore dan membeli beberapa keperluan untuk di ferry kaya air minum, tolak angin :D, antimo dan beberapa snack.Jam 6 tepat gue kembali menuju pelabuhan ferry, membeli tiket dan langsung masuk ke ferry.
ferry gorontalo - wakai

Ferry-nya lumayan besar, jadi ke-inget perjalanan dari Karimun Jawa balik ke Jepara. Cukup bersih, terutama WCnya (penting!!). Gue beli tiket Business Rp 89.000 dan menempati ruangan ber AC yang kapasitas mungkin untuk 50 orang, tapi saat gue masuk cuma ada 3 orang didalam jadi bisa puas deh pilih-pilih bangku di dalam. Setelah taro tas dan 'booking' tempat duduk gue langsung 'jalan-jalan' keliling ferry sambil liat-liat mana tau ada traveler lain yang bertujuan sama dengan gue, mana tau bisa sharing hehehe. Ternyata melewati deck economy udah penuh dengan penumpang dengan lapaknya masing2 dengan kondisi AC alias angin cepoi-cepoi malam :D. Telat 1 jam 15 menit akhirnya ferry berangkat juga meninggalkan pelabuhan menembus pekatnya malam mengarungi teluk Tomini yang tenang. Langit di atas penuh dengan bintang dan lautnya tenang, dan gue masih ngendon di deck atas sambil asik live tweet, mumpung sinyal masih kencang nih hehehehe. Hujan turun dan gue pun bergegas balik ke deck dan mulai cari posisi cihuy untuk molor. TV kabel mulai kehilangan sinyal dan gue tertidur. (Togean Information)

Hari ke - 2: Kepulauan Togean
Pagi itu gue bangun dan cuaca mendung masih gerimis. Di kejauhan terlihat gugusan pulau berkarang. Pelan tapi pasti ferry mulai memasuki kawasan Kepulauan Togean. Pulau-pulau berpasir putih serta pohon-pohon hijau mulai terlihat waktu ferry mendekati Pulau Batudaka. Jam 9 lewat 15 menit ferry berlabuh di Wakai. Gue pun langsung keluar bersama sebagian penumpang yang turun di Wakai. 1 jam kemudian ferry ini akan langsung berangkat menuju Ampana.

Yah, gini nih kalo tiba di tempat belum ada tujuan, ujung2nya gue celingak-celinguk kek orang begok mencari informasi tentang penginapan di Togean. Sempat tanya ke salah satu bapak yg kerja di DisHub (keliatan dari seragamnya) tapi infonya buat gue ga meyakinkan jadi gue keliling lagi cari seseorang yg bisa ngasih info OK tentang penginapan. Sementara yang lain sibuk dengan barang bawaan, gue sibuk keliling mencari info, dan akhirnya gue temukan bapak yg ngasih info bahkan nunjuk guide yang langsung bisa ngebawa gue ke penginapan. Namanya Eli, guide lokal Wakai.

Awalnya gue memilih Poyalisa yang letaknya dekat dengan Bomba dengan alasan lebih dekat dengan Ampana tujuan gue berikutnya untuk menuju ke Palu dan juga beberapa referensi yang menyebutkan kalau tempat ini bagus dari segi coral dan juga pemandangannya. Tapi tempat ini jauh dari Wakai yaitu sekitar 2.5 jam perjalanan dengan perahu lagian mahal pulak :(. Sudah hampir setuju dengan Poyalisa, dan Eli sudah mencarikan kapal buat gue kemudian gue lanjut tanya 'kalo gue mau liat stingless jellyfish lebih dekat darimana?' dan Eli pun bilang kalo danau itu lebih dekat dari Katupat ketimbang Poyalisa. Dan saat itu juga gue langsung merubah haluan gue untuk stay di Fadhila Cottage yang kebetulan juga ada Dive Center dan posisi Fadhila tepat berada di depan Desa Katupat hehehehe *murahan abis yak gue :D*. Lucky me, ternyata Eli itu guide di Fadhila juga and he is a certified diver. Lengkaplah sudah kebahagian gue di pagi pertama .....
Desa katupat dilihat dari Pulau Pangempan (Fadhila Resort)
Beruntungnya lagi gue juga dapet kapal barengan dengan orang lokal Katupat.. yeehaawww. Lumayan cuma bayar 50 rebu (yang seharusnya 200rebu). Perjalanan pun mulai dari Wakai masuk melewati bagian belakang pulau Kadadiri dan lanjut masuk terus ke arah Katupat. Jarang banget gue liat pantai, yang lebih banyak malah pulau-pulau dengan lebatnya pohon atau karang menjulang sesekali. 1 jam kemudian sampe deehhh di Pulau Pangempan yang merupakan lokasi Fadhila Cottage. Pulau Pangempan cantik, pasir pantainya bersih serta air lautnya bening dari atas kapal gue bisa ngeliat coral2 yang cakep dan ikan2 yang lagi berenang pun segabruk :D.

Fadhila Resort
Tiba di resort disambut oleh suasana adem dan sepi secara lagi low season nih. Nggak kelihatan sama sekali tamu-tamu. Kalo menurut Eli mereka lagi keliling. Kayanya sih cuma gue yang ada di resort saat ini. Berkaitan dengan budget setelah melihat-lihat, gue memilih cottage yang sederhana dengan harga Rp 150.000/malam termasuk 3 kali makan. Paling mahal cuma 200ribu sih tapi lumayan lah buat irit :D. Kamar mandinya donk.... open air dengan WC duduk dan air segar yang ngalir 24 jam tanpa henti. Ranjang tidur spring bed dengan kelambu dan hammock nyaman di depan cottage. Overall cottage ini sangat nyaman untuk di tempati.

Fadhila Resort
Hari ini gue memutuskan untuk do nothing, pengen leyeh-leyeh menikmati liburan sekedar jalan-jalan sekitar pulau sambil baca buku dan menantikan sunset. Setelah makan siang dengan menu yang super duper buanyaakk dan enyakk, gue pun melanjutkan dengan baca buku di pantai (indahnya dunia) sampai sore. Nggak jauh dari restoran & front desk ada lapangan volley pantai dan ada beberapa buku-buku bacaan yang bisa dibaca untuk para tamu. Niatnya sore itu mau snorkeling sekitar pulau tapi berhubung angin kencang dengan arus yang cukup kuat akhirnya gue hanya puas dengan berenang di pantai saja. Setelah makan malam yang lagi-lagi sangat mengenyangkan, gue pun mengambil kesempatan untuk ngobrol-ngobrol tentang planning gue selama di Togean ini ke Eli, Syaiful (manager Fadhila) dan juga Yasir sambil mancing di pinggir pantai heheheh.Oh iya, sekedar info kalo listrik di penginapan ini nyala jam 6 sore dan akan mati jam 10 malam.

Hari ke - 3 : Bertembu lumba-lumba dan berkunjung ke kampung Bajo.
Alarm hp gue bunyi (hah!! liburan kok pake alarm), waktunya bangun untuk moto sunrise dan kemudian hanya mendapati kalau langit mendung dan gw pun tidur kembali. Karena ga bisa tidur akhirnya gue memutuskan untuk keliling pulau lagi kali ini ngarah ke dermaga dan mendapati airnya yang tenang. Tak jauh dari jetty ada satu... dua .. tiga.... sekitar 7 sampai 9 Lion Fish!!!!! Berenang dengan anggunnya mengejar segerombolan ikan-ikan kecil. Hedeeuuh cakep banget deh nih. Ga jauh juga dari pantai ada bintang laut warna orange hitam (persis banget kaya yg suka ada diliat di foto kalo orang2 pada ke Belitung).

Setelah sarapan jumbo, Eli langsung mengajak gue untuk pergi ke tujuan yang pertama yaitu kampung Bajo yang di Pulau Papan berhadapan persis dengan Pulau Malenge ke arah timur Fadhila Resort. Matahari masih sembunyi di balik awan (ato awannya yang gag mau geser nih...!!) jadi suasananya masih aga mendung dan gue terus berdoa supaya cuaca tetap cerah karena di sebelah selatan udah langitnya udah gelap ajeeee.

Perjalanan satu jam yang gue sangka akan membosankan ternyata kagak tuh, karena gag sampe 15 menit gue melihat segerombolan lumba-lumba loncat-loncatan di ujung sana (video) dan Eli pun langsung meminta pengemudi kapal untuk menuju ke arah tersebut. Tak sampai 5 menit gue pun melihat lumba-lumba itu berenang beiringan di samping kapal. Ahh... senangnya ngelihat lumba-lumba berenang dengan bebas seperti ini. Dan jumlahnya banyak bangetttttt :D. I remembered once someone said to me, kalo kita bisa liat lumba-lumba berenang dengan bebas di lautan, we should be a very happy people :p... The truth is secara jarang2 liat lumba ya pasti seneng lahhhhh bisa liat segerombolan berenang sambil loncat2an disamping kita :D Puas nemenin mereka berenang, perjalanan lanjut lagi ke arah timur. Sinar matahari mulai keluar sedikit demi sedikit, langit biru masih kehalang sama awan tipis putih. Rasanya pengen banget ambil hapusan terus di hapus deh tu awan.

Oma lagi buat nasi bulu untuk lebaran besok
Akhirnya kami sampai. Tujuan awal adalah ke Pulau Malenge hanya untuk melihat-lihat disekitar pantai untuk kemudian menyusur jembatan. Suasana desa sepi mungkin penduduknya sedang melaut, tetapi ada juga ibu yang sedang sibuk menyiapkan nasi bulu (nasi bambu) untuk acara esok yaitu lebaran haji. Tak jauh di pantai beberapa anak-anak sedang bermain air sambil telanjang. Ada juga yang sedang mengambil sagu dari pohonnya yang tumbuh subur di daratan Pulau Malenge. Beberapa anak datang menghampiri saya sekedar penasaran karena melihat orang asing :D. Pohon-pohon di tempat ini tumbuh dengan subur, juga bunga-bunga warna warni tumbuh liar di sekitar rumah penduduk. Tak jauh dari pantai ada resort yang dibangun bagi para pengunjung yang ingin tinggal disekitar pulau Malenge.

Puas dengan Malenge gue langsung menuju jembatan kayu tersebut, panjangnya kurang lebih 500m menghubungkan antara pulau Malenge dan pulau Papan. Pulau Papan adalah salah satu konsentrasi masyarakat Suku Bajo. Dulu sebelum jembatan dibuat anak-anak suku Bajo jika pergi sekolah harus pergi pulang pake perahu, kalau hujan atau angin kencang sulit untuk mereka pergi sekolah. Untuk itulah jembatan ini dibangun agar memudahkan anak-anak pergi ke sekolah. Selain itu lebih memudahkan suku Bajo untuk pergi ke Pulau Malenge tanpa harus pakai perahu yang pastinya memerlukan bensin. Sementara bensin di Kepulauan Togean terbilang mahal bisa mencapai Rp 9.000 per liternya.

Anak-anak suku Bajo sedang memancing
Anak-anak suku Bajo
Anak-anak suku Bajo
Di Pulau Papan gue takjub sama anemon yang tersebar dengan banyaknya di bawah rumah panggung penduduk. Oh iya suku Bajo membangun rumahnya di pinggir pantai dengan rumah panggung gitu deh. Anemon - anemon 'tumbuh dengan subur' tanpa diganggu oleh tangan manusia. Takjub banget liatnya *norak mode*. Puas dengan anemon, Eli ngajak gue menjelajah pulau Papan yang boleh dibilang gersang karena ga ada pohon sama sekali. Pulaunya juga gag besar bisa di kelilingi hanya 15 menit saja sambil berjalan kaki. Tapi jadi lama karena gue banyak berhenti sekedar foto dan ngeliat anak-anak Suku Bajo main dan mancing. Ada juga yang sedang berenang dan nyelam. Emang suku Bajo dikenal sebagai gipsi laut. Karena hidup mereka yang selalu dekat dengan laut mereka terkenal handal dalam hal berenang dan menyelam. Is yang gue temui malam sebelumnya adalah pemuda suku bajo yang sanggup menyelam sampe kedalaman 20 meter tanpa alat selam sama sekali. Kalo gue bisa free dive 5 meter aja udah bagus hahahahah.
Jembatan yang menghubungkan pulau Papan dan pulau Malenge
Masi di pulau Papan, Eli ngebawa gue ke tempat paling tinggi di pulau Papan. Tingginya kira-kira 20 meter dari permukaan laut dan ini adalah dataran berbatu nggak ada tanah sama sekali. Nggak tinggi emang, tapi bisa ngeliat pemandangan 360 derajat. Jembatan panjangnya juga keliatan dan spot yang bagus banget untuk foto landscape. Bisa ngebayangin kalo cuaca cerah pasti cantik banget deh. Sayangnya gue ga bisa berlama-lama berdiri di tempat ini. Dari tempat gue berdiri bisa keliatan awan gelap di selatan mulai bergerak ke arah gue. Gerimis juga mulai turun dan gue bareng Eli turun cepat-cepat biar ga kejebak hujan. Akhirnya hujan turun dan gue serta Eli terjebak di Pulau Papan. Sambil nunggu hujan aga reda, gue ngeliat anak-anak Bajo masih main bola dibawah terpaan hujan. Jangankan PS atau Xbox atau internet, sedangkan unutk nonton TV aja mereka blom tentu bisa karena ga ada listrik. Listrik baru ada setelah jam 6 sore.

Hujan udah mulai reda, gue dan Eli langsung pergi ninggalin pulau Papan. Perlahan tapi pasti perahu motor yg gue naikin ninggalin pulau Papan yang kembali diguyur hujan lebat. Di belakang sana awan hitam mulai bergerak ke arah kita dan terjebak lah gue di tengah laut dengan hujan lebat. Udah motor kapalnya mati satu di tempat hujan deras makin bikin lambat nih perahu deh. Tepat jam makan siang gue sudah tiba di Fahila dan hujan masih aja turun dengan derasnya. Eli pamit untuk balik ke Wakai karena dia mau sholat Ied di Wakai dan janji akan datang besok untuk nemenin gue diving.

Hari ke-4: Akhirnya diving juga!! 
Ini adalah hari terkakhir gw di Togean karena besok pagi jam 7 gue sudah harus berangkat ke Wakai untuk mengejar ferry jam 9 pagi yang akan berangkat ke Ampana. Percakapan semalam gue dengan pak Sayiful, manager Fadhila, adalah diving setelah mereka jumatan. Jadi gue punya waktu dari pagi sampai siang untuk santai. Pagi itu gue snorkeling dan berenang hanya di sekitar pulau. Langit yang tadinya mendung berubah menjadi cerah. Pagi itu juga gue ngeliat lumba-lumba berenang di sekitar pulau. Heheheh, yup ternyata mereka ada juga di sekitar pulau ini, what a perfect island.

Karena Eli belum datang juga, mungkin ga ada kapal yang ke arah katupat, setelah makan siang gue langsung preparation dan refresh untuk diving. Gue akan turun dengan pak Syaiful sebagai Dive Master dan dua orang buddy gue, Arman dan Ajahan. Dua orang buddy gue ini adalah pemuda asli Katupat yang baru minggu lalu dapet diving license atas biaya pemerintah. Kalo menurut pak Syaiful setiap tahun pemerintah setempat membiayai pemuda pemuda lokal untuk kursus diving supaya  mereka bisa menjadi guide bagi wisatawan yang akan diving di Togean.
Gue, Dive Master dan Buddies

Spot diving gue adalah di Karina kurang lebih 20 menit dengan perahu ke arah timur. Dekat tempat kami diving juga ada pantai pasir putih yang bernama sama Pantai Karina, yang pada hari itu ramai oleh penduduk lokal yang sedang berekreasi karena sedang libur. Begitu tiba ombaknya lumayan besar juga dan kami langsung turun kurang lebih 30 menit hingga kedalaman 11 meter. Dari mulai nudi branch, kerapu school of fish, lion fish, dan banyak soft coral yang cakep-cakep. Sayangnya foto-foto yang diambil kurang bagus dan blur jadinya karena buoyancy gue yang kurang baik :D. Keknya musti banyak belajar lagi nih supaya kemampuan buoyancy gue makin bagus. Dari Karina spot, kami pindah ke Danau Mariona dimana ada ubur-ubur tak menyengatnya. Inilah salah satu tujuan gue datang ke Togean yaitu untuk mengunjungi di sang ubur-ubur yang lucu dan cantik itu (more story on Stingless Jellyfish).

Sebenernya gue blom puas maen-maen dengan ubur-ubur ini, tapi apa boleh buat waktu makin beranjak sore. I just love how the universe works with its unique way to make my trip memorable. Tiba di resort gue langsung pasang posisi untuk nikmatin matahari terbenam yang hari ini cantik banget. Warna langit jingga di barat sana menutup sore terakhir gue di Togean dengan indah.

Wakai - Ampana - Palu - Jakarta
Jam 7 pagi gue sudah duduk manis di perahu yang akan ngebawa gue ke Wakai. Matahari masih sembunyi di balik awan, tapi cahayanya tidak mampu menutupi langit biru yang cerah di sebelah timur sana. Sedih juga meninggalkan Fadhila, 3 hari rasanya kurang di tempat yang indah ini. Tapi apa boleh buat, nasib seorang pegawai yang cutinya sudah di patok heheheh. Mungkin next time gue aga kembali lagi... mungkin.

Perjalanan Wakai - Ampana aga lebih rame kali ini, selain gue ada 5 orang traveler dari Amerika yang mau ke Toraja lewat Poso yang barengan duduk di kelas bisnis. Perjalanan Wakai Ampana adalah 5 jam melewati jalur laut diantara dua pulau Batudaka dan Togean. Kaya lagi lewatin sungai gitu deh. Kiri kanan sepanjang jalur ferry berwarna hijau. Awan kadang menghalangi cahaya matahari terik tapi tidak mengurangi keindahan pemandangan saat itu. Beberapa kali ferry melewati kawasan pemukiman pinggir pantai. Tak lama sekitar 1.5 jam meninggalkan Wakai pemandangan beralih menjadi lautan luas bukan lagi pemandangan hijau pohon.
Pemandangan perjalanan Wakai - Ampana
Jam 2 siang tepat ferry tiba di pelabuhan Ampana dan gue langsung mencari travel yang akan berangkat ke Palu. Dan gue beruntung karena ada travel yang mau nganterin gue ke pool-nya. Barengan dengan ke-5 traveler dari US itu, dari pelabuhan Ampana menuju ke kota kurang lebih 13km atau sekitar 10 menit dengan mobil dengan membayar Rp 10.000. Lagi-lagi gue untung ga harus bayar karena mobil yang gue naikin adalah travel Touna yang nantinya akan gue pakai ke Palu. Kami sempat berhenti untuk makan siang (err, udah ga bisa dibilang makan siang sih karena jam 3 sore :D) kemudian lanjut. Gue di drop di Travel Touna dan menunggu sampai jam 5 untuk kembali on the road menuju Palu.

Perjalanan Ampana - Palu adalah perjalanan naik mobil (L300) yang tidak menyenangkan sepanjang pengalaman gue naik bis malam. Nggak ber-AC, gue kebagian duduk sebelah supir. Bangkunya keras dan panas. Alhasil sepanjang perjalanan gue ga bisa diam karena posisi duduk yang selalu serba salah dan itu harus gue jalananin selama hampir 12 jam. Dan untuk perjalanan yang seperti itu gue harus ngebayar Rp 110.000. So much for a lousy travel car.

Jam 5 pagi mobil mulai memasuki kota Palu terlambat 2 jam karena supir memutuskan untuk tidur sebentar karena ngantuk. Kota Palu cantik di malam hari. Kota yang terletak di teluk ini dikelilingi oleh jajaran pegunungan pasti cakep nih kalo siang hari. Sinar bulan penuh yang jatuh di permukaan air menambah indah Palu dilatarbelakangi oleh cahaya lampu kota yang berwarna-warni. Sayang gue ga bisa berenti untuk sekedar foto. Selesai mengantar penumpang yang lain dan gue adalah yang terakhir di drop di hotel. Setelah dua kali mencari penginapan, hotel Buana Graha, Palu adalah yang ketiga dan untungnya masih ada kamar sisa. Kamar dengan satu tempat tidur dan kamar mandi gue bayar Rp 120.000 dan untungnya gue bisa check out jam 2.30 sore karena pesawat gue take off jam 4 sore. Perjalanan 12 jam yang melelahkan memaksa gue untuk tidur dulu di hotel. Walaupun ujung2nya gag bisa tidur juga sih. Akhirnya gue memutuskan untuk keliling kota, cari oleh-oleh dan makan. Yang khas untuk sarapan di kota Palu adalah nasi kuning. Jam 5 pagi tadi begitu gue masuk kota Palu sudah banyak warung nasi kuning yang buka. Lauknya dari mulai ayam, daging sapi, dan telur. Harga berkisar Rp 10.000 - 20.000 tergantung lauknya dan top adalah sambalnya. Pedasnya juwaraaaaaaaa

Kota Palu
Kota Palu nggak besar-besar banget sih, tapi seperti yang gue bilang sebelumnya, kotanya cantik dikelilingi oleh pegunungan hijau. Walau matahari terik udaranya dingin. Oleh-oleh khas Palu adalah bawang goreng, jadi gue berniat untuk beli dan bawa pulang buat emak dirumah hehehe. Bawang goreng setengah kilo gue beli seharga lima puluh ribu. Gag tau deh itu murah ato mahal yang pasti bawang gorengnya enak dan renyah kaya krupuk gitu deh.

Naik angkot di Palu juga pengalaman tersendiri buat gue karna disini angkotnya tidak ada jalur khusus. Alias bisa nganterin lo kemana ajah dan lewat rute mana ajah. Bayarnya pun juga ga mahal-mahal banget hehehe. Jaid kalo mau keliling kota naik angkot bisa banget nih. Udah gitu di Palu juga banyak rumah makan padang dan menurut supir angkot yang juga ternyata orang Padang di kota Palu banyak perantau dari Provinsi Sumatera Barat tersebut. Pak Arman, nama supir angkot, juga sudah hampir 20 tahun tinggal di kota Palu dan sudah beranak cucu disini.

Jam 2.30 sore gue memutuskan untuk ke airport dengan menggunakan taxi yang dipesan dari hotel. Aga kaget juga sih lihat argonya yang mahal. Buka pintu sih Rp 5.000 tapi argo per 100 meter adalah Rp 350. Gileee lebih mahal dari Jakarta bahkan bluebird sekalipun. Tapi apa boleh buat karena angkot tidak masuk ke airport dan gue aga males naik ojek karena Palu sedang membara panasnya. Dan ternyata jarak airport dari hotel nggak jauh-jauh banget. Cuma 8km dan gue hanya membayar Rp 15.000 untuk taxi hehehe.

Bandara Mutiara Palu emang bapuk banget, kecil dan kumuh. Tapi justru di depan bandara yang kumuh ini sudah berdiri bangunan baru yang megah sebagai penggantinya. Bandara ini sedang dalam proses perampungan mungkin tahun depan sudah mulai beroperasi. Kira-kira kapan ya Soe-Ta selesainya??

November 6, 2012

Informasi tentang Togean

Informasi ini berdasarkan perjalanan yang gue lakukan ketika berkunjung ke Togean tanggal 23 - 28 Oktober 2012.
Konsentrasi Kampung Bajo di Pulau Papan

1. Rute Perjalanan
Ada dua pelabuhan yang bisa dicapai jika ingin ke Togean yaitu Wakai dan Bomba. Karena gue berangkat dari Gorontalo menuju Wakai maka gue akan lebih banyak bahas yang satu ini. Rute yang gue jalanin adalah Jakarta - Gorontalo - Wakai - Ampana - Palu - Jakarta
Rute perjalanan
  • Jakarta - Gorontalo : by Garuda atau Lion Air
  • Airport Jalaluddin, Gorontalo - Kota (Gorontalo Mall) -  Pelabuhan Ferry
    • Jarak dari Airport menuju kota (Gorontalo Mall) sekitar 40 km atau 1 jam perjalanan, biayanya dengan taxi mungkin sekitar 50ribu, gue kurang tau karena gue sendiri dapet tebengan hehehe
    • Gorontalo Mall - Pelabuhan Ferry sekitar 15 menit naik bentor (Becak Motor) dan gue bayar Rp 20.000. Kenapa di Gorontalo Mall? Ya.. karena gue emang diturunin disitu hehehhe
  • Pelabuhan Ferry Gorontalo - Wakai by KM. Tuna Tomini
    • Jadwal Ferry yang berangkat ke Wakai Selasa dan Jumat. Berangkat jam 8 malam tiba jam 8 pagi (keesokan harinya)
    • Harga tiket Rp 89.000 untuk Business class AC dan sekitar Rp 60.000 untuk kelas Economy
    • Lama perjalanan 12 jam
    • Saran : ambil yang AC karena perbedaannya juga ga terlalu banyak, lagian kalo di kelas Eco, it's just too windy dan rame. Sementara kalo di AC nggak penuh sama sekali dan masih bisa tidur karena bangkunya reclining walopun ga nyaman - nyaman banget sih. Karena berangkat malam jangan langsung molor, usahakan liat langit teluk tomin, indah banget dengan bintang-bintangnya.
  • Wakai - Ampana by KM Tuna Tomini
    • Jadwal ferry adalah lanjutan dari Gorontalo yaitu setiap Rabu dan Sabtu berangkat jam 9 pagi atau tergantung dari tibanya ferry dari Gorontalo. Tapi biasanya ferry akan berlabuh kurang lebih 1 sampai 1,5 jam 
    • Harga tiket Rp 40.000 untuk Business Class dan sekitar Rp 20.000 untuk kelas Economy
    • Lama perjalanan 5 jam
  • Ampana - Palu
    • Dari pelabuhan Ampana menuju tempat travel sekitar 13 km atau sekitar 15 menit dengan naik mobil travel Rp 10.000
    • Ampana - Palu dengan naik Travel Touna; adalah kendaraan L300 dengan kapasitas 8 orang non AC dengan harga Rp 110.000/orang. Lama perjalanan 10 jam dan berangkat tiap jam 5 sore.
    • Words from me : jangan mau kalo dikasih duduk disamping supir atau di depan karena mesinnya persis banget dibawah bangku, jadinya panas. Perjalanan paling nggak nyaman selama gue melakukan perjalanan darat. Travelnya ga pake AC 
Melalui Ampana, berdasarkan informasi yang gue baca dan terima dari orang-orang lokal
  • Pelabuhan Ferry Ampana bisa di capai dari tiga kota; Palu, Poso, Luwuk
  • Dari kota Ampana menuju pelabuhan ferry berjarak sekitar 13km, kalau naik (semacam) angkot kurang lebih 15 menit dengan ongkos Rp 10.000
  • Dari Ampana menuju 2 pelabuhan yang ada di Togean
    • Ke Wakai dengan menggunakan KM. Tuna Tomini; seminggu 2x, lanjutan dari Gorontalo - Wakai - Ampana. Setiap hari Rabu dan Minggu 
    • Ke Bomba dengan menggunakan kapal penumpang jadwalnya setiap hari
Untuk jadwal kapal masuk dan keluar Togean harap di cek dulu ya, takutnya ada perubahan
Berdasarkan info yg gue dapet setelah ngobrol dengan orang-orang lokal yang juga orang PU ada kabar baik kalau kota Ampana sedang di bangun airport dan akan diresmikan tahun 2013 demi menyambut Sail Tomini di tahun 2014 ;)

2. Akomodasi
  • Penginapan: Link berikut adalah peta penyebaran akomodasi Kepulauan Togean yang gue ambil dari berbagai sumber. Rata-rata akomodasi di Togean harganya dihitung per orang. Dan biasanya harga sudah termasuk 3x makan. 
    • Selama di Togean gue tinggal di Fadhila Cottage dengan harga Rp 150.000/orang/malam sudah termasuk 3x makan, teh and air minum. Fresh water 24 jam dan listrik yang hidup dari jam 6 sore - 10 atau 11 malam.
3. Spot-spot yang kunjungi selama di Togean
    Sebenernya nggak banyak yang gue datangi selama di Togean karena waktu yg minimalis dan cuaca yang 
    nggak mendukung karena hujan terus.    
  • Kampung Bajo di Pulau Papan depan Pulau Malenge. Di tempat ini terdapat jembatan yang menghubungkan kedua pulau sepanjang kurang lebih 500m. Dan merupakan spot yang sangat indah untuk foto landscape dan juga human interest. Jaraknya 1 jam perjalanan dengan perahu dari desa Katupat atau 2 jam dari Wakai
    • Masih banyak sih sebenernya lokasi dari konsentrasi mayarakat Bajo, tersebar di hampir seluruh pulau di Togean, tergantung kitanya aja mau meng-eksplore sampai sejauh itu karena lokasinya jauh.
  • Dalam perjalanan menuju Kampung Bajo gue juga ketemu dengan sekawanan lumba-lumba yang berenang beriring-iringan
  • Danau yang berisi stingless jellyfish
  • Diving di Karina Spot
  • Selebihnya gue habiskan waktu di Cottage dengan snorkeling di sekitar jetty yang 
4. Diving di Togean
  • Spot Diving
    • Karina Spot
    • Batu Gila Spot
    • Dominic Rock Spot
    • Batu Pancing Spot
    • Taipi Wall Spot
    • Blue Ribbon Spot
    • Reef 1 Spot
    • B24 Bomber
    • Una-una
    • dan masih banyak lagi. Informasi ini langsung gue catat dari wall diving spot di Fadhila Resort :D
  • Dive Center di Togean (info ini yang gw dapat dari internet)
    • Dive Togean Resot yang berada di Fadhila Resort --> gue pakai disini
    • Black Marlin Dive Resort (Kadadiri Island)
    • Island Retreat Dive Resort (Bomba)
    • Walea Dive Resort (Walea)
nudibranch
5. Tips Traveling di Togean (based on my experience)
  • Perhatikan jadwal ferry dan kapal2 dari dan ke Togean, karena kadang-kadang ada perubahan waktu. 
  • Best season adalah Juli dan Agustus yang sekaligus merupakan high seasons di Togean. Harga penginapan cenderung naik hampir 2x lipat dan harus melakukan reservasi sebelumnya jika ingin kebagian tempat. Selain Juli dan Agusuts, pada saat tahun baru juga merupakan high season.
  • Cobalah untuk traveling ke Togean secara berkelompok. Karena di Togean sewa kapal cenderung mahal, sehingga jika ada travel mate bisa sharing. Kalaupun tidak ada teman (seperti saya) cobalah cari teman seperjalanan yang mau berbagi. (sayangnya waktu saya disana, tidak juga ketemu. Kalaupun ada waktunya yang ga matching :D)
  • Jangan lupa bawa lotion anti nyamuk / serangga. Serangga disana ganas2 -_-
  • Tidak semua penginapan dialiri fresh water selama 24 jam, jadi bersiap2lah untuk tidak mandi yak hehehe. Beruntunglah saya yang menginap di penginapan yang airnya mengalir 24 jam
  • Berhubung hampir semua penginapan listriknya minimalis alias hanya nyala dari jam 6 sore - 10 malam, jangan lupa bawa senter.
  • Dijamin 100% gag ada sinyal. Hanya ada di spot2 tertentu dan hanya provider tertentu yang berjaya, itu juga senen kemis.
  • Bawa snack dan air minum/juice/beer etc. Nggak ada yang jualan di pulau cyiiiinnn..
  • Kalau ke Togean pas hari Sabtu, coba aja untuk join EVERTO. Karena di hari itu biasanya mereka mengadakan acara Plastic & Bintang Tour. Yaitu ngumpulin sampah-sampah plastik dan juga bintang laut yang bisa merusak karang untuk kemudian di bakar.
  • Last but not least, JANGAN BUANG SAMPAH SEMBARANGAN. KEEP YOUR COUNTRY CLEAN!! Sedihnya masyarakat sekitar masih belum sadar akan hal ini :(
6. Berapa lama waktu yang ideal untuk di Togean?
Errrr, sepertinya satu bulan juga tidak akan cukup untuk menjelajah kepulauan ini. Jadi aga susah juga jawabnya hehehehe. Gw ajah cuma 3 malam di sini dan pasti kuraaaaang. Ditambah lagi pas gw disana setiap pagi pasti hujan jadi cuaca juga tidka mendukung untuk ber-perahu-ria. Kalau gue menyesuaikan waktu dengan jadwal kapal ferry yang dari Goronralo (pastinya dengan cuti gue dooonk), jadi tiba di Togean hari Rabu dan pulangnya hari Sabtu dengan menggunakan ferry yang sama tapi ke arah Ampana. Rata-rata traveler yang gue temuin disana bisa stay sekitar 1 - 2 minggu di Togean dan mereka biasanya akan berpindah-pindah penginapan supaya tidak bosan, semuanya balik lagi ke diri kita dan kantong masing-masing hehehehe.

So, happy exploring Togean. It's indeed beautiful!!! 
clear water

November 1, 2012

Ubur-ubur tidak menyengat juga ada di Togean


Ternyata ubur-ubur tidak menyengat itu bukan cuma ada di Kakaban, Kaltim saja. Tapi mereka juga berdomisili di salah satu pulau di Kepulauan Togean. Dan gue berkesempatan untuk berkunjung dan bertamu sampe salaman sama tuh ubur-ubur yang emang cantik dan lembut itu. Awal pertama kali gue tau ada ubur-ubur ini dari link ACI Detik. Tapi informasinya tidak detail dimana posisi persisnya. Dan .... tiba di Togean, hal pertama yang saya tanyakan ke Eli (guide) adalah dimana persisnya letak posisi danau tersebut.

Setelah ditanya kesana kemari ternyata emang danau ini baru ditemuin atau mulai terekspos tahun lalu (ya.. setelah saya baca di link ACI Detik). Fasilitas disekitar danau ini nggak ada sama sekali seperti jembatan yang menghubungkan bibir pantai ke arah laut. Gue rasa juga ga akan ada yang nyangka kalau di balik karang tersebut ada danau yang dihuni oleh ribuan stingless jellyfish. Pantainya berkarang jadi kalau hendak berlabuh harus pada saat air laut pasang atau kalau airnya surut paling berenang deh ke bibir pantai :D. Tidak sampai sepuluh langkah aga nanjak dikit ... sampe deh.
Pantai menuju ke danau

stingless jellyfish lake
Sehari sebelum 'bertemu' dengan si ubur-ubur sebenernya gue udah sampe di danau tapi ga berani turun karena ga ada yang nemenin dan ga ada orang juga di danau. Aga-aga spooky gitu deh. Airnya ijo gelap (efek mendung kayanya) terus sekitar danau dikelilingin sama pohon-pohon.

Keesokan harinya, setelah diving di Karina spot, gue, Pak Syaiful (Dive Master), Arman & Ajahan (Dive Buddy) barengan dengan Is langsung menuju danau. Tiba di danau ternyata sudah ada 5 orang yang sedang berenang di danau dan tidak jauh dari tempat gue berdiri sudah keliatan ubur-uburnya. Woohooo makin semangat deh untuk langsung turun ke danau yang airnya hangat. Daannnn, tersebarlah ratusan mungkin ribuan kali yeeeee ubur-ubur yang cantik tersebut. Harus berhati-hati memegang ubur-ubur ini karena mereka sangat rapuh, kalo berenang juga ga boleh pakai fin biar badan mereka tidak hancur terkena kibasan fin. Dan juga nggakboleh di angkat ke udara. Senang banget akhirnya bisa bertemu langsung dengan ubur-ubur ini :D. Sumpe... pas liat tuh ubur-ubur gue joget-joget dalam air hahahaha *norak*. Puas main dan berfoto ria dengan si ubur-ubur, gue pun meninggalkan danau dengan hati gembira. Rasanya lengkap sudah perjalanan gue ke Togean setelah bertemu mereka :D.


Keberadaan danau ubur-ubur tak menyengat ini yaitu di Pulau Togean (pulau terbesar ke 2 di Kepualuan Togean). Kurang lebih 20 menit perjalanan dengan menggunakan perahu dari Desa Katupat mengarah ke Barat. Oh iya, sebelumnya gue sudah bertanya ke Eli dan juga pak Syaiful, apakah setelah balik ke Jakarta gue boleh menyebutkan posisi danau ini. Gue minta ijin karena sepertinya di tulisan2 sebelumnya masih dirahasiakan keberadaan tempat ini. Dan ternyata mereka bilang OK. Kalau selama ini mereka masih merahasiakan adalah supaya si ubur-ubur ini tetap lestari. Dan gue menghimbau (ceileee) supaya para pejalan yang mau berkunjung kesana agar berhati-hati dengan si mahluk lucu ini supaya tetap lestari.

bucket list --> swimming with the Stingless Jellyfish : CHECKED

So, menurut lo... kira-kira masih ada lagi gag keberadaan si ubur-ubur tak menyengat di Indonesia selain di Kakaban dan Togean? I believe there is.... errr... There are ......  :D



October 16, 2012

Couchsurfing Indonesia Videos on Social Media Fest 2012 - Create and Collaborate




Dance Hore - Ondel Ondel
Collaboration with 7 communities : Couchsurfing Indonesia, ID Berkebun, Levitas iHore, Berburu, Infinito, Tumblr Indonesia, Rotaract

----------------------------------------------------------------------------------------------

Gangnam Style Flashmob

-------------------------------------------------------------------------------------------------

Singing National Anthem - Indonesia Raya
at PeDemu Negeri Booth

October 11, 2012

Ber-Vintage-Ria di Pasar Senen


Hampir semua perempuan pasti suka shopping, termasuk gue sih pastinya.Tapi apakah itu termasuk belanja di pasar loak atau istilah bahasa Inggrisnya Flea market? Well, I doubt that! Mungkin orang-orang akan bertanya-tanya, "Ya, ampun sumpe loo belanja baju di pasar loak? Kaga gatel-gatel tuh badan lo? Well.. who cares. Toh selama ini gue pakai baju aman-aman aja tuh.

Pasar Senen
Gue adalah salah satu yang termasuk penggemar belanja baju-baju bekas di pasar loak, tepatnya second hand market yang berlokasi di Pasar Senen. Awalnya mulanya waktu kuliah dulu, karena gue kuliah di kampus sekretaris yang mengharuskan gue untuk memakai rok dan kemeja setiap harinya. Waktu itu nyokap ngebawa gue ke daerah Pasar Baru letaknya tepat di Pasar Atom lantai 3. Kalau elo yang hobby beli printilan kamera pasti tau tuh tempatnya. Nah,... letak Flea marketnya tepat satu lantai di atas lantai yang menjual kamera itu. Awal masuk kerja agak jarang juga mengunjungi Flea Market ini. Salah satu alasan karena waktu dan udah punya uang sendiri jadi masih sanggup lah beli baju baru hehehe.Bukan berarti sekarang gag sanggup beli yang baru lo, tapi lebih ke kepuasan kalo bsia dapat barang bagus dengan harga murah, puasnya tuh beda banget gituh :D.

 

Dulu gue sering belanjanya ke Pasar Baru, sekarang ini pindah ke Pasar Senen yang berlokasi di Gedung Proyek Senen. Gedung ini dulu di tempati oleh Ramayana dan juga Matahari Dept. Store. Kalau dulu  mereka jualan di pinggir jalan sehingga menyebabkan macet yang luar biasa, sempat juga pindah di lapangan parkir yang sekarang jadi tempat jualan kue-kue subuh. Sampai akhirnya sekarang menempati dua gedung tersebut. Kenapa gue nggak lagi belanja ke Pasar Atom - Pasar Baru karena yaaa menurut gue lebih mahal dari Pasar Senen hehehe, lumayan bedanya bisa 5.000 - 10.000 (ya elaahhh..... :D). Gosipnya malah gedung yang sekarang ditempati akan dihancurkan untuk kemudian dibangun yang baru.

Satu lagi yang seru dari Pasar Senen, para pedagangnya lebih unik dalam menjajakan dagangannya.Dengan modal suara kencang sambil menarik perhatian pembeli dengan pantun dan kadang-kadang nyanyi. Biasanya mereka suka ngebawa nama artis2/seleb juga, kaya gini nih: yang diatas meja 5000 saja kakak, murah sekali kak, Julia Perez aja belanjanya disini :D.


Harganya Gimana? 
Yah, namanya juga pasar barang bekas ya pasti miring semiring-miringnya. Boleh percaya atau nggak terakhir gue ke Pasar Senen dengan hanya ngebawa uang 200.000 udah bisa bawa pulang 12 lembar baju (1 jeans, 6 terusan, 2 kemaja dan 3 rok) .. puwasssss!!!!! Ya pastinya kemampuan menawar harus dikerahkan. Selain itu salah satu cara untuk dapetin harga murah dengan membeli 2 - 3 lembar baju/barang di satu tempat. Mereka biasanya akan kasih harga makin murah.

Kualitas baju/barang?
Di tempat inilah QC harus dijalankan, which is diri elo sendiri :D. Harus teliti dengan baju/barang yang pengen dibeli. Cacat sedikit masih OK lah, tapi jangan sampai yang major kaya sobek. Kalau ada noda coba di cek apakah noda tersebut nantinya bisa dicuci dan hilang. Usahakan barang yang kita beli dalam kondisi baik. Kalau baju tersebut kusut belum tentu jelek lo, malah kadang-kadang ada yang masih brand new dan masih ada tag harganya. Jadi lumayan kan? Dapat barang 'baru' dengan harga super duper murah. Malah kadang-kadang bisa dapet barang branded ;).

Emang yang dijual apa aja sih?
BANYAAAAAAAAKK. Yang pasti pakaian cewe dan cowo untuk segala cuaca dari mulai summer dress sampai winter. Teman saya yang pergi ke Eropa saja berhasil dapat 2 buah jacket cakep yang lapisannya bulu angsa buat penahan udara dingin dengan harga 100ribu/pc saja sodarah-sodarah. Belum lagi sarung tangan. Ada sepatu, tas sampai onderdil cewe dari mulai celana dalam sampai BH pun juga ada (kalo yang satu ini sih udah pasti gue kaga beli kaleeee). Eh, baju anak-anak juga ada lo, termasuk bed cover sampai sleeping bag pun tersedia.

Ini bukan mall lo!!! 
Yup, cuma gedung lama yang kaga ada ACnya sama sekali, jadi kalo masuk ke dalam sudah pasti sumpek dan panas luar biasa. Pengap karena bau debu dari pakaian-pakaian tersebut. Makanya kalo ke tempat ini kalo perlu pake celana pendek dan baju kaos ajah biar ga kepanasan. Kaga perlu dandan cakep.. siapa juga yang mau lo kecengin di dalam? :D Yang ga kalah penting barang bawaan simpel aja, hati-hati dengan barang bawaan yang kita bawa. Banyak copet!!

You will never know what you get there ;)
Kenapa gue bilang gini? Beberapa kali ke tempat ini dengan rencana mau beli ini itu, ternyata semua yang gue pengen ga dapet. Akhirnya setiap kali datang gue mencukupkan diri dengan uang dan membeli barang yang menurut gue bagus dan pas di hati ... ihiiyyy :D. Malah dapatnya lebih banyak deeehh. Jangan malu juga untuk 'digging' baju-baju yang numpuk di atas meja atau yang digantung, karena kadang-kadang bisa dapet 'harta karun'. Oh iya, kalau sudah dapet barang yang bagus jangan sia2kan yaa, soalnya sudah dipastikan tidak ada yang ngejual lagi hehehehe.

HAPPY VINTAGE SHOPPING !!!!!!!

August 7, 2012

Mingalabar Myanmar!

Mingalabar Myanmar! (Hello Myanmar)
Delapan Hari Menjelajah Myanmar
Tiket Jakarta - Yangon melalui Kuala Lumpur sudah saya beli (seperti biasa) satu tahun sebelumnya. Sebagaimana layaknya para traveler yang akan jalan saya sangatlah bersemangat dengan perjalanan ke Myanmar. Delapan hari di satu negara adalah termasuk cukup lama sampai saat ini. Maklumlah pegawai yang cutinya cuma 12 hari setaon *sigh* (lah, kok jadi curcol nih??). Makanya kesempatan ini pastinya saya tidak sia-siakan. Saya akan menjelajah the Big Four of Myanmar yaitu: Mandalay - Bagan - Inle Lake dan pastinya Yangon. Awal beli tiket saya hanya sendiri tapi pada saat-saat terakhir ada dua orang teman saya (ninik dan Mira) yang ikutan dan saya sangat senang karena itu artinya akan ada sharing expense .. HOORAY.

Hari ke – 1: Menuju Mandalay
Penerbangan selama 2 jam 30 menit akhirnya berakhir ketika roda pesawat Air Asia menyentuh landasan Yangon International Airport dengan mulus. Waktu menunjukkan jam 18.40 waktu Yangon, 30 menit lebih lambat dari waktu Jakarta. Bandara tampak lengang sore itu, dari balik kaca terlihat para penjemput yang sedang memanjang-manjangkan lehernya memastikan apakah kerabat mereka sudah landing atau belum. Setelah mendapatkan cap imigrasi kami bergegas menuju money changer yang ada persis di depan pintu keluar imigrasi. (tentang Visa Myanmar)Kami hanya bisa menukar USD 100.00 tidak bisa lebih dari itu, *mau berbagi dengan yang lain kali yaaa* gumam saya dalam hati. Rate yang kami dapat USD 1.00 = Kyats 874.00. Keluar dari pintu airport masih ada dua money changer lagi. Kami pun menukar lagi. Supaya tidak kekurangan uang di Mandalay.

Shwe Mandalar Bus
Di depan airport sudah banyak para supir taxi yang menawarkan jasanya untuk mengantar kami ke downtown Yangon atau ke Terminal bus. Setelah tawar menawar harga akhirnya kami mendapatkan harga Ks 6.500 untuk sebuah taxi butut tapi supirnya baik dan bisa berbahasa inggris. Kurang lebih 30 menit kemudian kami tiba di Terminal Bus Aung Mingalar, tepatnya ke pool bus Shwe Mandalar. Saya beruntung karena bisa mendapatkan tiket ini lebih dulu karena mendapatkan bantuan dari teman kami yang orang lokal Yangon. Begitu tiba kami langsung membayar tiket seharga Ks 10.500/orang. Ketika sampai di terminal bus waktu masih menunjukkan pukul 8 malam. Masih ada waktu 1,5 jam lagi dan kami memutuskan untuk makan malam sebelum berangkat.

Untuk harga Ks 10.500 bus yang kami naiki ini cukup bagus. Ada selimut dan bantal dan diberi air minum. Satu yang kurang yaitu tidak dikasih makanan/snack melainkan satu set handuk kecil basah, sikat gigi sekali pakai dan odol :D. Bus hanya berhenti sekali dan hanya 30 menit saja untuk sekedar makan atau mencuci muka. Oh iya, walau toilet yang kami gunakan adalah toilet umum tapi tidak jorok dan tidak bau, udah gitu air yang dipergunakan untuk flush adalah air sungai, go green gitu deh. Perjalanan bus lanjut lagi melalui highway yang membelah Myanmar, karena saya terlelap sepanjang perjalanan jadi tidak terlalu memperhatikan sekitar, sepertinya jalannya lurusssss terus benar2 bebas hambatan. Sembilan jam kemudian kami tiba di kota Mandalay.

Hari ke – 2 : Mandalay
Bus perlahan-lahan memasuki kota Mandalay yang masih sepi. Begitu memasuki Highway Bus Terminal langsung ramai oleh bus yang berdatangan dari berbagai daerah di Myanmar. Ketika akhirnya bus kami berhenti kami memutuskan untuk keluar paling belakangan sementara di depan pintu bus para supir taxi sudah menunggu calon penumpangnya dalam bahasa lokal. Dan akhirnya ketika kami turun tidak ada satupun yang berani menawarkan kepada kami, mungkin tahu kalo kami orang asing dan mereka tidak  bisa bahasa inggris. Hanya ada satu orang saja yang berani berbicara dan kesempatan itu tidak kami sia-siakan :D.

Sebenarnya Mandalay tidak kami masukkan ke dalam list perjalanan ke Myanmar tetapi berhubung ada bus malam kami memanfaatkan kesempatan ini. Dan kami juga memutuskan untuk tidak berlama-lama di Mandalay. Begitu pagi sampai sorenya diputuskan untuk langsung berangkat ke Bagan. Untuk itu sebelum memulai explore Mandalay kami membeli tiket ke Bagan dengan bantuan sang bapak yg bisa berbasaha Inggris tersebut. 

Setelah tiket seharga Ks 7.000 terbeli (bus berangkat jam 15.30) kami punya waktu 9 jam untuk menjelajah Mandalay, pastinya kurang sih tapi apa boleh buat waktu yang ada sangat minim. Setelah tercapai kesepakatan harga taxi (baca: angkot, tapi mereka bilang itu taxi) yaitu Ks 30.000 kami memulai perjalanan kami. Harga Ks 30.000 tersebut termasuk harga untuk turis yang harus membayar USD 10/orang untuk memasuki kota Mandalay. Sang supir berbaik hati menawarkan kami untuk sekedar menyegarkan badan dirumahnya. Jadi kami langsung menuju rumah beliau untuk sekedar berganti baju dan membersihkan badan.

Yang aneh dan lucu serta membuat bingung saya dengan cara berkendara di Myanmar adalah mereka berkendara di sisi kanan jalan tetapi stir mobil mereka juga ada di kanan. Myanmar banyak menggunakan mobil jepang yang stirnya di sebelah kanan. Tetapi ada juga yang mobil yang stirnya di sebelah kiri.. nah lo bingung kan?? hahahahha. 
  
Saat kami tiba di rumah beliau, sang istri baru saja selesai mandi. Dan mandinya dimana sodara-sodarah? Yaitu di depan rumah dengan menggunakan sarung. Saya yang tadinya ingin mandi akhirnya batal dan harus puas dengan hanya cuci muka, sikat gigi terus ganti baju. Setelah semua rapi kami ditawari untuk dipasangkan Thanaka di muka kami masing-masing. Kebetulan banget, karena memakai Thanaka adalah salah satu yang ingin dilakukan jika berada di Myanmar. Mulai dari Mira, saya dan kemudian Ninik semuanya dipakaikan Thanaka. Oh iya, Thanaka adalah sejenis kosmetik alami yang terbuat dari gerusan kulit kayu yang menyerupai kayu cendana (sandalwood). Biasanya wanita dan anak-anak akan memakai Thanaka di wajah mereka kadang juga di tangan untuk melindungi mereka dari sengatan matahari yang cukup terik di negara tersebut. Efek dari Thanaka adalah seperti memaki lotion anti sinar matahari agar kulit tidak terbakar akan memberi efek dingin pada kulit yang dipakaikan Thanaka. Boleh percaya atau tidak tapi hampir setiap wanita Myanmar yang saya temui pasti mempunyai kulit yang mulus dan bersih :D.

Setelah semua rapi jali dipakaikan Thanaka kami berfoto bersama seperti foto dibawah ini. Do we look like Myanmar people now?? Hehehehe

Sekilas tentang orang Myanmar lokal yang ditemui setelah beberapa jam berada disini adalah mereka emang nggak ada bedanya dengan orang Indonesia. Kulit sawo matang, rambut hitam, postur badan juga sama. Bedanya ya kalo perempuan memakai thanaka dan rok panjang atau kain (jarang yang pakai celana panjang apalagi celana pendek). Kalau laki-laki Myanmar menggunakan sarung kemanapun mereka pergi. Apakah itu hendak bekerja, pergi ke pagoda, bahkan anak-anak sekolah yang pria pun juga pakai sarung untuk pergi ke sekolah. Ada satu hal yang saya tidak suka dari kebiasaan mereka adalah sebagai pengganti rokok mereka mengunyah sirih. Bukan masalah kunyah sirihnya sih, tapi mereka pasti akan meludah setiap saat. Dan ludahnya dibuang di sembarang tempat. Jadi jangan heran kalo disana dipinggir jalan banyak sekali noda-noda merah. Ya itu adalah hasil dari mereka meludah sirih .. euuwwhhh. Mana bau pulak *sigh*

para monk yang akan bersekolah 
Perjalanan pun lanjut dan singgah di pemberhentian pertama kami yaitu Mahamuni Pagoda. Tak lama kami menghabiskan waktu disini karena mungkin waktu masih pagi sehingga tidak banyak orang yang datang. Selesai dari Mahamuni Pagoda kami lanjut ke Sagaing Hill. Sagaing Hill terletak di Barat Daya kota Mandalay, perjalanan kami melewati indahnya sungai Irrawaddy dan jembatan Ava yang kokoh. Jika anda punya cukup waktu untuk mengunjungi Myanmar, selain menggunakan bus untuk pergi ke Bagan bisa dilakukan dengan transportasi sungai melalui Sungai Irrawaddy ini.
Ava Bridge dari Bukit Sagaing
Untuk mendapatkan pemandangan yang indah dari Bukit Sagaing Hill, kami harus menaikki beberapa ratus anak tangga untuk mencapai puncak pagoda. Masuk ke bukit Sagaing tidak harus merogoh kocek hanya stamina dan kaki yang kuat serta nafas panjang diperlukan hehehhe. 1 jam kemudian saya sampai di puncak  dengan nafas senen kemis. Setelah berisitrahat sebentar, saya mulai mengeksplore sekitar. Pagoda tersebut belum terlalu ramai, kebanyakan hanya orang lokal yang sedang berdoa dan hanya kami yang orang asing ato karena kita datang kepagian yak??? Dari puncak bisa terlihat Jembatan kembar Ava serta luasnya sungai Irrawaddy yang melewati kota Mandalay. Matahari jam 10 pagi cukup terik ditambah lagi suasana pagoda yang sangat cerah menambah terik panas suasana sekitar. Beberapa pedagang menggelar jualan mereka dari mulai makanan sampi baju-baju. Ada yang pacaran juga loh. Eh? :D

Irrawaddy River dari Sagaing Hill
Pagoda di Bukit Sagaing
Puas dengan Sagaing Hill, kami melanjutkan perjalanan ke Amarapura, yang terkenal dengan Jembatan U’Bein, jembatan terpanjang di dunia yang terbuat dari kayu jati. Panjangnya mencapai 1.2 km. Sebelum ke tempat ini kami di ajak ke tempat tenun kain khas Myanmar.. berhubung ini masih di awal perjalanan jadi kami hanya melihat-lihat saja proses menenun mereka.Kami tiba di tempat U’Bein Teak wood Bridge pada saat makan siang, angin mulai kencang tapi panasnya cukup terik. Kami disarankan untuk sewa perahu untuk menikmati ‘danau’ disekitar jembatan tersebut. Tapi berhubung anginnya kencang dan sepertinya perahu tersebut tidak meyakinkan kami memutuskan untuk berjalan-jalan saja di sekitar jembatan.  Waktu yang pas untuk mengunjungin jembatan ini adalah pada saat matahari terbenam, sayangnya itu tidak mungkin kami lakukan mengingat kami sudah beli tiket ke Bagan sore ini. Kami lanjut dengan makan siang di sekitar ‘danau’ sambil beristirahat menunggu jam keberangkatan bus ke Bagan.

U'Bein Teak wood Bridge
Menikmati kota Mandalay bisa dilakukan dengan berbagai cara, diantara seperti yang saat ini kami lakukan dengan menyewa kendaraan, mungkin aga mahal tapi buat kami yang hanya punya waktu beberapa jam cukup efektif rasanya. Beberapa kali kami melihat beberapa turis asing yang melakukannya dengan sepeda, tentunya ini pasti yang punya cukup waktu yaa hehehe. Ada juga yang dengan menggunakan bus umum. Oh iya.. bus umum di Myanmar itu sama dengan bis PPD di Jakarta dari Jepang. Seperti itulah rupanya, kalau di Jakarta busuk yang ini lebih busuk lagi, hebatnya asap knalpot yang keluar tidak sehitam yang di Jakarta… tanya kenapa???

Akhirnya kami harus meninggalkan Mandalay yang terik tepatnya jam 15.30 dengan menggunakan bus ber-AC (lagi-lagi) dari Jepang. Hanya kami orang asing yang ada di dalam bus. Untungnya saya hanya duduk sendiri di dalam bus, sementara diseberang samping saya ada biksu yang sedang mengunyah sirih dan membuang ludahnya di plastik. Dan aroma sirih pun menguar di dalam bus. Bus melaju diiringi video lagu – lagu Myanmar… dan sayapun tambah pusing. 

Pemberhentian dilakukan hanya sekali untuk makan malam, padahal suasana masih terang ternyata sudah jam 6.30. Jarak tempuh Mandalay - Bagan adalah lima setengah jam dan kamipun tiba di Bagan tepatnya di Nyaung-U. Ada tida daerah di Bagan, yaitu Nyaung-U, Old Bagan dan New Bagan. Nyaung-U adalah tempat dimana pusat wisatawan berada karena di daerah inilah lebih banyak penginapan dan restoran.


Sesuai saran teman, kami memilih untuk stay di Nyaung-U. Dengan ojek sepeda seharga Ks 1.000 dengan keadaan kami dibonceng bertiga (aga sadis sih hihihihi). Kami mulai mencari penginapan. Setelah 2 kali pindah akhirnya kami memutuskan tinggal di Shwe Na Di Guest House. Kamarnya cukup luas, tersedia air panas serta handuk dan breakfast untuk kami bertiga dan kami hanya membayar USD 22 saja/malamnya .. lumayan murah yaaa hehehe. Oh iya, setiap wisatawan asing yang masuk ke kota Bagan diharuskan membayar USD 10/orang dan ini berlaku untuk semua tempat yang ada di kota Bagan, kecuali menara pandang yang harus menambah sekitar  USD 3.00/orang. Pembayaran ini bisa dilakukan di penginapan yang kita tinggali. 

Hari ke 3 dan 4 : Bersepeda di Bagan
Biking Bagan 
Kami beruntung karena hari ini cuaca cerah dan berlangit biru walaupun berangin cukup kencang, hari-hari sebelumnya berawan dan kelabu. Pas banget karena kami akhirnya memutuskan bersepeda untuk menjelajah tempat yang dulunya pernah menjadi ibukota beberapa kerajaan kuno di Burma. Sewa sepeda perhari adalah Ks 1.500 ditambah guide Ks 15.000. Sebenarnya kalao kita mau rental horse chart pasti akan sama sekitar Ks 20.000 seharian tetapi entah kenapa kami ingin bersepeda dan ternyata memang bersepeda tidak kami sesali di akhirnya. Kenapa kami pakai guide? Karena kebetulan kami ditawarkan dan sepertinya guidenya cukup seru (professional biker yang kadang2 merangkap guide :D) dan kebetulan budget kami mencukupi. So there goes our journey starts. Lima belas menit awal bersepeda saya sudah ngos-ngosan .. tumben nih gerutu saya dalam hati. Ternyata oh ternyata ban belakang sepeda saya kempes tapi  untungnya guide kami membawa peralatan yang salah satunya adalah pompa, mantap kan??? Karena berulang-ulang sepeda kempes akhirnya pas makan siang sepeda saya dicek dan ditemukan tiga paku saja sodarah-sodarah di ban dalamny *jadi inget ranjau paku di Jakarta*

Bagan atau yang dulu disebut dengan Pagan terletak di daerah Mandalay. Buat saya Bagan adalah kota yang bertabur candi dan pagoda, seperti melihat bintang-bintang di langit di malam hari, seperti itulah Bagan. Mau lihat ke kiri atau kanan yang terlihat adalah pagoda, candi, pagoda, candi .. baik yang besar maupun yang kecil sekalipun. Sebelum gempa besar yang terjadi tahun 1975 di Bagan jumlahnya mencapai 4000-an tetapi setelah gempa yang berkekuatan sekitar 6.5 SR (gempa terbesar yang pernah terjadi di Myanmar) melanda jumlah dari candi dan pagoda tersebut berkurang menjadi sekitar 2000-an …. *tetep banyak yak.

Kota Bagan pada saat kami kunjungi sangat berdebu. Debunya bukan karena polusi tapi disebabkan oleh debu tanah kering yang terbawa angin. Jadi kalau mau ke Bagan harus siap-siap dengan masker kali yaa. Tapi kalo saya perhatiin sih walopun berdebu para pengunjung santai-santai aja tuh hm.. Saking cueknya dengan debu yang beterbangan pas kita makan siang di Old Bagan tepatnya di restoran Sarabha yang posisinya pas di depan lapangan luas yang berdebu. Pada saat angin kencang terbanglah debu-debu itu dibawa angin menghampiri kami yang sedang makan. Mungkin itu sebabnya ya makanan di Sarabha enak banget hahahaha. 
Dont's when you enter pagoda
Berhubung ada 2000an pagoda di Bagan, gak mungkin juga ya kalo kami kujungi semua. Guide kamipun mengarahkan kami ke beberapa pagoda yang cukup terkenal dan mempunyai sejarah yang cukup unik. Beberapa candi dan tempat yang kami kunjungi di Bagan:
Htilominlo Pahto 
Ananda Pahto : adalah candi yang terkenal karena arsitekturnya yang indah .. dan emang bener ini candi bagusssss banget. Didalam bangunan candi tersebut juga ada lukisan-lukisan dinding yang ternyata baru “ditemukan” tiga bulan belakangan ini. 
Lukisan Dinding di Ananda Pahto
Gubyaukgyi : candi yang terletak didaerah Myinkaba ini kaya dengan lukisan-lukisan dinding didalamnya. Karena gelap untuk melihat lukisan dinding ini harus menggunakan lampu yang telah disediakan tapi harus berganti-gantian.
Gawdaw Palin Pahto
Thatbyinnyu Pahto : candi paling tinggi di Bagan
Dan beberapa candi-candi kecil lainnya yang tersebar di wilayah Bagan. Sayangnya kami tidak sempat ke Dhammayangyi Pahto (pagoda terbesar) karena kemampuan mengayuh sepeda kami yang makin lama makin melemah hehehehe.
Ananda pahto

Oh iya, kami memulai bersepeda jam 9 pagi sampai sunset. Satu jam sebelum sunset tiba, kami digiring ke sebuah candi yang dan memanjat candi tersebut. Sampai disitu, ternyata sudah ada beberapa orang yang sedang menunggu. Sayangnya sore hari ini cuacanya berawan dan berangin sangat kencang , tidak seperti di siang hari yang cerah dengan langit biru. Tapi walaupun sunsetnya kurang cihuy, kami tetap menikmati indahnya semburat jingga di langit Bagan. Dari kejauhan tampak sapi-sapi gembalaan yang sepertinya akan kembali ke kandang. Di kejauhan juga sungai Irrawaddy yang melintasi Bagan tampak keemasan di timpa cahaya matahari sore.

Menjelang Sunset
Untuk informasi, waktu berkunjung yang paling pas ke Bagan atau Myanmar pada umumnya adalah awal tahun sekitar January – February, dimana langit dipastikan cerah tidak berawan dan tidak berangin tetapi suhunya cukup dingin. Pada saat inilah sunrise dan sunset dipastikan akan menakjubkan hampir setiap harinya dan juga balon udara akan beroperasi. Saya malah baru tahu dari guide saya kalau balon udara tidak beroperasi pada saat musim panas.. ya pada saat saya datang ini. Padahal saya ingin sekali mengambil paket sunrise tapi berhubung sunrisenya juga kurang cihuy dan balon udara tidak beroperasi kami memutuskan tidak akan mengambil paket sunrise… mending tidur hehehehehhe.


Dhammayangyi Pahto

Nongkrong di atas pagoda sampil nunggu sunset
Keputusan untuk tidak mengejar sunrise ternyata tepat, karena pagi ini cuaca berawan cenderung  mendung jadi gag nyesel deh bangun aga siang. Aga teler juga nih abis sepedaan kemaren semua badan rasanya pegal semua, kalau kata mba Ninik “gini kali yaah.. rasanya disodomi ….”…. @_@. Walopun badan sakit kami tetap mau sepedaan sih, jadinya hari itu kami habiskan dengan berkeliling-keliling Nyaung-U dengan sepeda, tadinya mau ke New Bagan, tapi berhubung jauh dan cuaca mau hujan kami memutuskan untuk berkeliling sekitar Nyaung-U saja. Sekedar foto ataupun nongkrong di kafe atau restoran.

Hari ke – 5 : Menuju Inle Lake
Tiket Bagan – Inle Lake (Taung-Gyi) sudah kami beli sehari sebelum berangkat di . Harganya Ks 11.000 perkiraan berangkat jam 6.30 pagi tapi molor ke jam 7. Busnya ber-AC tapi tidak berasa sama sekali ACnya, makin siang malah makin panas. Udah gitu jalannya lamaaaaaaaaa banget, pokoe supir-supir Myanmar kalah sama supir2 AKAP Indonesia :D.

Kalau pada 2 perjalanan sebelumnya hanya kami yang orang asing, perjalanan kali ini malah 90%nya orang asing. Yang orang lokalnya hanya sekitar 5 – 6 orang saja. Busnya padat karena Inle Lake merupakan salah satu tujuan wisata Myanmar yang cukup terkenal. Bus berhenti hanya 1 kali untuk makan siang, pada saat itulah mulai terasa cuaca yang sejuk. Perjalanan yang semula lurus dan datar berubah menjadi menanjak dan berkelok-kelok. Pemandangan bukit-bukit hijau mulai mendominasi wilayah yang sedang kami lewati (jangan tanya daerah apa… gag bisa bacaaaa). Delapan jam kemudian bus berhenti. Kirain udah sampe ternyata belum aja tuh. Rupanya bus berhenti di Kalaw untuk menurunkan beberapa turis. Kalaw adalah salah satu daerah tujuan wisata yang sekarang mulai banyak penggemarnya. Jika anda penggemar trekking mungkin bisa melalukan trekking dari Kalaw sampai ke Inle Lake. Ada paket 1, 2 atau 3 hari tergantung keinginan dan akan menginap di rumah2 penduduk. Banyak travel agent di sekitar Kalaw atau Inle Lake yang menawarkan paket-paket ini. Setelah Kalaw perjalanan lanjut melewati Heho (Airport terdekat dengan Inle Lake) dan kemudian sampailah di Shwe Nyaung 1 jam kemudian.  
Kota Nyaung Shwe
Shwe Nyaung adalah pertigaan (junction) tempat berhenti bus untuk menurunkan penumpang yang hendak ke Nyaung Shwe. Jangan bingung yaaa, nama tempatnya bener ko, Shwe Nyaung dan Nyaung Shwe :D. Nyaung Shwe adalah kota terdekat dengan Inle Lake dan di tempat inilah terdapat banyak penginapan dengan harga yang terjangkau. Sebenernya di Inle Lake juga ada tapi lumayan mahal dan lebih terisolir karena penginapannya berupa cottage dan berlokasi diatas danau. Untuk sampai ke Nyaung Shwe dari pertigaan Shwe Nyaung kami harus naik kendaraan ke Nyaung Shwe kurang lebih 13km. Kami berhasil mendapatkan taxi dengan membayar Ks 3.000 plus taxi tersebut akan membantu kami mencari-cari penginapan. Oh iya, sebelum masuk gerbang Nyaung Shwe, ada loket untuk membayar entry fee sebesar USD 5.00 untuk para traveler asing.  Setelah ngubek2 Nyaung Shwe akhirnya kami memutuskan untuk nginap di Aung Mingalar Guest House dengan harga USD 25.00/malam untuk kami bertiga. Kamarnya AC (sebenernya ga perlu sih karena udaranya sejuk), dapat handuk dan ada air panasnya serta breakfast. Letak GH ini aga jauh dari jetty tempat perahu-perahu yang menuju ke Inle lake bersandar tapi kami terlanjur suka dengan GH ini :D.

Setelah istirahat sebentar kami lanjut jalan-jalan keliling kota Nyaung Shwe. Kota ini tidak besar tapi menyenangkan. Kemanapun mata memandang pasti terlihat jajaran bukit-bukit hijau yang cantik mengelilingi. Tidak terlalu ramai dan lebih banyak bisa berinteraksi dengan masyarakat lokal. Kami mampir ke travel agent yang menawarkan paket ke Inle Lake ternyata lebih murah dari yang ditawarkan oleh GH kami. Jika di GH memberikan harga Ks 18.000/perahu (1 perahu max 5 orang) di travel agent ini hanya Ks 15.000/perahu. Dan kami memutuskan untuk memesan di travel agent ini dimulai dari jam 6.30 pagi.

Kami lanjut memasuki warung kelontong orang lokal untuk lihat-lihat daann membeli 1 botol Rum Myanmar (alcohol 40%) yang sangat muraaah hanya Ks 5.00 sekitar 500ml hehehe. Myanmar merupakan salah satu produsen minuman2 keras. Ada liquor, rum, beer dan juga wine. Sang pemilik toko juga berbaik hati memberikan Mira satu batang rokok Myanmar. Puas liat-liat di toko acara JJS berikutnya adalah mencari makan kemudian kembali ke penginapan untuk beristirahat. Yak, jam 9 malam dan kota Nyaung Shwe sudah sepi yang ada hanya para turis-turis yang seliweran untuk kembali ke penginapan masing. Saya masih menyempatkan diri untuk ke internet café sekedar untuk menghubungi teman yang ada di Yangon, itupun pake acara ngambeg sama pemilik karena connection internetnya kampret abis ……

Hari ke – 6 : Keliling Inle Lake
Perahu bermotor yang akan membawa ke Inle lake
Setelah mandi dan sarapan kami berangkat pukul 6.30 pagi. Kemudian jam 7 pagi tepat kami langsung menuju ke Inle lake dengan menggunakan perahu long tail boat yang sebenarnya cukup untuk berlima tapi hanya kami gunakan bertiga saja. Cuaca pagi itu berawan cenderung mendung tetapi tidak mengurangi perasaan senang karena akan menjelajah Inle Lake pagi ini, suasana baru tegas saya dalam hati. Perjalanan dimulai dari dermaga dan sekitar 30 menit kemudian kami sudah memasuki areal Inle Lake. Kalo saya ingat beda-beda tipis sama danau Toba di kampung halaman saya, bedanya di Inle Lake ini airnya tidak sebiru danau Tona malah cenderung cokelat. Awal perjalanan kami sangat excited tapi lama kelamaan kami mengkeret karena udara dingin menerpa kami sepanjang perjalanan dan saya hanya memakai celana pendek berasa saltum. Ga bawa jaket pula…brrrrr.

Intha Row
Inle Lake terletak di Shan Sate dengan luas permukaan mencapai 116km2. Merupakan danau terbesar kedua di Myanmar dan berada di ketinggian 1.320 meter (dari berbagai sumber).  Dari kejauhan tampak rumah-rumah penduduk yang berada di atas air dan juga floating garden yang sangat menarik, terkadang terlihat beberapa perahu dengan nelayan yang sedang mengayuh dengan menggunakan kaki. Teknik leg rowing ini adalah yang sangat populer di Inle Lake dan pastinya menjadi sasaran bagi turis yang membawa kamera, termasuk saya. Teknik ini digunakan karena danau Inle dipenuhi oleh alang-alang serta tumbuh2an lain yang hidup di air sehingga mereka harus berdiri untuk melihat tumbuhan tersebut sehingga perahu tidak nyangkut dan terciptalah teknik leg rowing yang sangat terkenal itu. Saat yang tepat untuk mengunjungi tempat ini menurut masyarakat sekitar adalah sekitar bulan September – Oktober dimana terdapat festival yang berlangsung selama 3 minggu.
perkampungan Nampan
Perkampungan Nampan
Kurang lebih hampir 2 jam kami diatas kapal.. dan hampir mati gaya ketika akhirnya tiba di tujuan pertama kali yaitu Tau To. Sebelumnya kami sempat melewati daerah yang bernama Nampan dimana tinggal penduduk yang rumahnya di atas air. Di Tau To terdapat pasar yang cukup menarik untuk dilihat. Karena saat ini adalah musim panas menyebabkan air danau menyurut dan floating market tidak ada… *Sigh*. Kami harus puas dengan pasar tradisional di Tau To. Beruntunglah kami yang bersedia bangun pagi sehingga bisa sampai ke tempat ini pada saat yang tepat karena tidak lama kami sampai pasarnya sudah mulai bubar walaupun masih banyak juga pedagang yang jualan. Suasana gerimis mengiringi penyusuran kami sepanjang pasar. Saya dan teman2 juga sempat membeli aksesoris di tempat ini. Banyak yang bisa kami lihat di tempat ini. Sebagaimana layaknya pasar tempat bertemunya penjual dan pembeli, buat saya orang-orang lokal nya yang sangat menarik. Bagaimana mereka melihat kami yang 'perawakannya' Myanmar banget tapi pake celana pendek berfoto-foto pulak. Aga risih juga sih soalnya mereka melihat mereka dari ujung kepala sampe ujung kaki, tapi ya udah lah yahh nasib jadi turis :D. 
ibu-ibu yang sedang berjualan dan berbelanja di pasar Tauto
Dari Tau To kami melanjutkan perjalanan ke tempat tenun yang terbuat dari getah lotus. Nah,.. baru dengar kan??? Cukup menarik juga cara pembuatannya karena getah lotus ditarik kemudian dijadikan semacam benang memanjang setelah itu ditenun oleh mereka. Sayangnya harganya lumayan mahal untuk kantong saya. Perjalanan lanjut menuju pabrik rokok. Disini saya sempat mencoba rokoknya. Saya kira berat ternyata lebih ringan dari rokok filter di Indonesia. Mungkin karena tembakau yang dipakai tidak dirajang halus seperti di Indonesia melakukan di cincang kasar. Ada dua jenis rokok yang dijual disini yang pertama untuk obat (ga ngerti dimana obatnya) harganya Ks 1500/batang dan satu lagi beraroma manis dengan harga Ks 1000/batangnya. Semua bahan di linting sendiri dan terbuat dari bahan alami. Seperti kertasnya dari daun dan filternya dari … apa yak, lupa hehehehe.
berkunjung ke Pabrik Rokok
Perjalanan berlanjut, awan mendung dan gerimis yang tadi bergelayut kini berganti dengan panas terik matahari dan langit biru, tapi tidak semua area danau terkena tampak di kejauhan awan dan hujan di beberapa lokasi di danau tersebut. Beberapa kali terlihat beberapa petani sedang menggarap di kebun air mereka atau lebih dikenal dengan floating garden. Guide kami sempat mengarahkan kami ke pagoda namun kami tolak karena waktu yang mepet dan terus terang saja kami sudah mabok sama pagoda. Dan pagoda pun kami sekip untuk kemudian lanjut makan siang.

Pada saat makan siang hujan mulai mengguyur wilayah restoran dimana kami makan. Sambil menunggu makanan jadi kami menikmati Inle Lake sebisa mungkin. Sayangnya kami juga tak bisa lama-lama bersantai makan siang, karena kami harus lekas kembali ke Nyaung Shwe untuk selanjut mengejar bus ke Yangon sore ini. Setelah makan siang kami sempat mampir ke tempat dimana para perempuan suku long neck menenun pakaian. Saya kira akan pergi ke desa tempat suku long neck berada ternyata hanya ada 3 orang perempuan suku long neck. Sepertinya mereka dibawa ke Inle Lake untuk dijadikan ‘atraksi’ bagi para pengunjung Inle Lake. Dan yang lucunya para wanita ini semua sadar kamera, karena beberapa kali saya mau ambil candid mereka pasti langsung sadar dan pasang senyum dimuka….. xixixixi.

Wanita Suku Long Neck sedang menenun
Lepas dari suku long neck kami melanjutkan perjalanan pulang menuju Nyaung Shwe. Untung sepanjang perjalanan matahari bersinar dan langit menjadi biru. Udara tidak lagi terlalu dingin, tetapi saya masih menggunakan payung yang dipinjamkan dari perahu untuk menghindari percikan-percikan air danau ke tubuh kami. Tak lama kami tiba di dermaga Nyaung Shwe dan segera kembali ke GH untuk mengambil backpack kami yang sudah kami titip di receptionist. 
landscape Inle Lake
Tiket bus ke Yangon sudah kami beli sehari sebelumnya melalui reception GH. Harganya Ks 15.000/orang dan ini adalah tiket bus paling mahal dari semua tiket bus yang pernah kami beli sebelumnya dan perjalanan akan memakan waktu 12 jam. Mudah2an busnya bagus deh pikir saya dalam hati. Bus akan berada di junction Shwe Nyaung jam 5 sore, untuk itu kami harus berada di junction jam 4.30 sore. Dari Nyaung Shwe kami naik semacam angkot dengan harga Ks 1000/orang. Disini kami berkenalan dengan dua orang traveler perempuan yang pertama dari Korsel namanya Won dan dari China kalo yang ini saya lupa namanya. Sepanjang perjalanan Nyaung SHwe ke Shwe Nyaung pemandangan indah dari bukit hijau dan persawahan di timpa matahari sore yang cantik, sempat saya melihat pelangi menaungi bukit tersebut.

Pada saat kami tiba di Shwe Nyaung, sudah banyak para travelers yang menunggu bus baik ke Yangon, Bagan ataupun Mandalay. Bus tiba sedikit molor dari jadwal yang ditetapkan dan kami berangkat 30 menit lebih lama dari jadwal. Ternyata busnya bagus dan dingin banget brrr…… alamat gag bisa tidur nih malam ini, gag ada selimut pulak  pikir saya. Kami juga mendapatkan 1 botol air minum dan lagi-lagi 1 set handuk basah beserta sikat gigi dan odolnya. Bus berhenti sebanyak 2 kali selama perjalanan untuk makan malam dan beristirahat. Untungnya kami bisa tidur di bus karena AC bus dimatikan setiap beberapa saat oleh sang supir. Mungkin dia tau kali ya kalo kita kedinginan.

Hari ke – 7 : Tiba di Yangon
Kami tiba diiringi gerimis di Yangon jam 6 pagi tepat. Ber-empat bersama Won kami bernegosiasi taxi untuk menuju ke tujuan kami masing-masing. Kalau Won sudah ada penginapan, kami bertiga sama sekali belum ada, tapi kami tau tujuan kami adalah Sule Pagoda. Akhirnya kami mendapatkan taxi dengan harga Ks 7.000 untuk kami berempat. Kali ini taxinya lebih kecil tapi baru. Kota Yangon di pagi hari itu sepi dan saya baru ingat kalau hari itu adalah hari Sabtu. Jalan-jalan lengang dan belom tampak mobil disana-sini. 1st Impression saya terhadap kota ini adalah rapih dan teratur.. ato mungkin karena masih pagi yak. Tiga puluh menit kemudian kami tiba di Sule Pagoda dan Won kembali melanjutkan perjalanan ke penginapan dia. Sebelumnya kami berjanji akan bertemu keesokan harinya karena kebetulan kami akan berada di satu pesawat dari Yangon menuju Kuala Lumpur.

Kami berjalan menyusuri gang-gang di sekitaran jalan Mahanbandoola. Tempat yang kami susuri berupa jalan yang cukup untuk dua mobil dan kiri kanan adalah gedung-gedung bertingkat yang sudah lama cenderung lapuk, dinding-dindingnya banyak lumut atau terkadang kayu-kayu lapuk. Sebenernya jalannya cukup bersih tapi suasana gedung di kanan kiri jalan membuat lembab suasana. Kami mampir di Okinawa GH tempat teman kami Itong dan Abhu sebelumnya pernah menginap sewaktu ke Yangon. Sayangnya tempat itu baru akan kosong setelah check out. Kami kembali menjajah daerah sekitar Sule Pagoda sesuai dengan petunjuk buku Lonely Planet. Cukup susah memang untuk mencari penginapan di Yangon. Satu jam kami mencari akhirnya kami bersepakat untuk memilih Mahabandoola GH yang sangat tidak rekomen. Apa boleh buat tubuh sudah penat ditambah lagi kami sedang tidak enak badan.

Gedung-gedng di Yangon
Masih jam 9 pagi, tapi kami memutuskan untuk mandi dan beristirahat sebentar dan kami keluar saat jam makan siang. Kebetulan juga saya sudah janjian dengan Couchsurfer US yang berdomisili di Yangon kami janjian akan dinner dengan dia. Pada saat kami keluar jam 12 siang sekitar Sule Pagoda sudah ramai dengan bus-bus yang berlalu lalang serta masyarakat yang sedang melakukan kegiatan masing-masing. Kalau di Inle Lake atau Bagan dan Mandalay saya hanya bertemu orang-raong lokal Myanmar, di Yangon lebih bervariasi lagi. Ada orang Bangladesh, China, Burmese semuanya bercampur jadi satu. Dan seperti layaknya kota besar yang selalu terburu-buru melakukan segala sesuatu. Aga bingung juga sebenernya untuk beradaptasi dengan ritme Yangon tapi lama-lama kami terbiasa.

Yang pertama kali harus saya lakukan adalah menelepon KK dan kemudian Ryan dengan menggunakan telpon ‘umum’ di pinggir jalan. Bukan seperti layaknya telpon umum yaa, tapi telpon milik seorangan yang di taro dipinggir jalan kemudian setiap kali telpon akan di timer. Saya lupa berapa tariffnya tapi kalo ga salah untuk telpon lokal sekitar Ks 5/menit dan untuk Ks 50/menit untuk interlokal dan handphone. Dengan Ryan kami tidak jadi dinner melainkan bertemu saat tea time di apartemennya dia. Saya sudah catat alamat lengkapnya dan janji akan datang jam 3 sore. Phhiuuhh… mudah-mudahan sampe nih.
Siang itu cuaca berawan dan udaranya panas, lalu lintas Yangon cukup padat dan boleh dibilang semrawut. Berjalan kaki di trotoar juga penuh perjuangan karena banyak sekali pedagang yang membuka lapak disini. Yah.. ga jauh beda sama Jakarta gitu deh. Kami menemani Mira yang sedang mencari obat mata karena matanya bengkak terkena iritasi. Rupanya sepanjang jalan yang sedang kami lewati siang ini semuanya bersini tempat praktek dokter dan apotik-apotik dan pastinya tertulis dengan aksara Burma dong.

Yangon
Yangon
Kayanya ini adalah pembelian obat mata terlama yang pernah dibeli. Secara yaa, pelayannya ga ada yang ngerti bahasa inggris sama sekali udah gitu. Dipindah-pindah dari satu toko ke toko yang lain. Ternyata di Yangon itu untuk semua apotik di klasifikasi maksudnya kalau untuk membeli obat mata harus beli di apotik yang khusus untuk mata. Jadi pergilah kita ke American Vision (sesuai instruksi) yang khusus untuk mata. Dari mulai dokter sampai apoteknya. Setelah obat mata terbeli kami lanjut makan di restoran Thai yang ternyata lumayan enak loh. Saya lupa namanya restorannya tapi posisinya berada persis di sebelah American Vision tempat kita beli obat mata itu.  

Yangon
Waktu menunjukkan pukul 2 siang ketika selesai makan siang. Kami keluar dari restoran dan langsung mencari taxi kemudian menunjukkan alamat yang telah disebutkan oleh teman kami tersebut. Taxi pertama menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak tahu alamat. Kedua.. ketiga.. ke-empat sampai akhirnya kami memutuskan untuk menelpon kembali dengan hasil tidak diangkat. Lima belas menit lagi jam tiga dan kita masih di downtown, no idea apakah alamat itu dekat atau jauh. Kami mencari internet café untuk kirim email dan begitu dapet semuanya full oleh anak-anak yang lagi main online game… arrggghh. Mba Nik menyarakan untuk telpon yan gterakhir kalinya, karena terus terang saja kami sudah putus asa. Saya menelepon ulang dan kali ini diangkat, kemudian saya menjelaskan duduk masalah dan berharap agar teman saya itu berbicara dengan orang lokal langsung dan menjelaskan kepada mereka. Dan akhirnya alamat tersebut di tulis ulang dengan menggunakan aksara lokal…!! Kemudian ditunjukkan ke taxi driver untuk mengantarkan kami langsung ke tempat dengan harga Ks 3.000. Well, hanya beda Ks 500 dari yg disebutkan oleh Ryan. Dan kamipun tiba dengan selamat di tempat teman kami itu. Disana saya bertemu oleh Ryan (CS dari Amerika) dan isitrinya Merry yang asli Myanmar serta kolega Ryan, Jason dan Emily yang pada saat itu sedang berada di Yangon untuk sebuah proyek sosial mereka. Kira-kira kami habiskan waktu 1 jam lamanya untuk ngobrol dengan mereka. Banyak yang kami bicarakan termasuk mereka bertanya tentang Indonesia.

bersama Won, teman jalan dari Korsel
Setelah dari tempat Ryan, kami pindah tempat ke Sakura Tower. Tempat ini direkomendasikan oleh Won, teman kami dari Korsel, untuk melihat kota Yangon pada saat sunet. Sakura Tower terletak di downtown kota Yangon dekat dengan Sule Pagoda hanya sekitar 100 meter jaraknya. Sakura tower adalah gedung tertinggi di Yangon dimana kita bisa melihat kota Yangon 180 derajat. Kami menghabiskan sore kami sambil memandangi sunset. Harga minuman di tempat ini sekitar Ks 3.000 – Ks 5.000 untuk satu gelas fresh juice. Cukup pantas dengan pemandangan yang bisa saya liat saat ini.Ditempat ini juga kami tidak sengaja bertemu dengan Won :D

pemandangan dari Sakura Tower 
Dari Sakura tower bisa terlihat Yangon river dan Sule Pagoda diterpa sinar matahari sore. Kemudian megahnya Shwedagon Pagoda ditengah-tengah hijaunya suasana kota. Lalu national Stadium Myanmar dan juga Stasiun kereta api yangletaknya tak jauh dari lokasi SakuranTower. Sebenernya untuk menjelajah kota Yangon bisa dilakukan dengan naik kereta selama 3 jam dengan hanya membayar USD 1.00 saja seperti yang dilakukan oleh teman saya Itong satu tahun yang lalu. Lagi-lagi karena waktu yang tidak cukup kami harus melewatkan kesempatan ini. Kesempatan untuk mengunjungi rumah dari Aung San Su Kyi yang terletak persis dibelakang Inya Lake juga terpaksa kami lewatkan. Huhuhuhu.. sedih juga banyak yang terlewatkan karena saya jatuh sakit di hari-hari terakhir saya liburan. But the show must go on.

Hari itu kami tutup dengan mengunjungi supermarket lokal. Sekedar untuk melihat-lihat dan berbelanja beberapa keperluan. Sepanjang jalan menuju supermarket itu banyak sekali jualan makanan-makanan lokal sayangnya saya sudah kehilangan selera untuk makan karena sakit. Setelah selesai berbelanja di supermarket kami bergegas kembali ke GH dan menyempatkan diri sebentar untuk beberapa tempat diwaktu malam.
Sule Pagoda di malam hari
Hari ke – 8 : Last day in Myanmar
Kami bangun dan bergegas packing. Supir taxi yang kmaren kami naiki sudah kami booking dan sekarang sudah menunggu dibawah. Setelah check out kami menuju ke Shwedagon Pagoda. Salah satu tempat di Yangon yang tidak mungkin kami lewatkan. Waktu menunjukan pukul 12 siang ketika kami sampai di Pagoda yang megah ini. Tiket masuk untuk orang asing adalah USD 5.00/orang sedangkan untuk orang lokal ya ga bayar kalee :D. Pintu masuk dan lift yang digunakan untuk orang asing juga beda. Lebih sepi dibanding pintu orang lokal. Ya eyalaaaahhh!!! :D
Masyarakat Yangon datang untuk berdoa
Shwedagon Pagoda atau dikenal juga dengan nama Pagoda Emas berumur sekitar 2500 tahun (ternyata udah tua) terletak di atas tanah seluas 114 hektar di kota Yangon. Pagoda ini berlapiskan emas dan pada pucak pagoda terdapat kurang lebih 4500 berlian dan yang terbesar berukuran 72 karat. Pagoda ini merupakan pagoda suci bagi masyarakat Myanmar. Tidak heran di hari Minggu itu Shwedagon pagoda sangatlah ramai oleh pengunjung lokal sekedar untuk berdoa. Ada empat pintu masuk menuju ke pelataran pagoda; Utara, Selatan, Timur dan Barat. Seperti halnya pagoda-pagoda yang kami kunjungi sebelumnya, sepatu, alas kaki serta kaos kaki tidak diperbolehkan untuk dipakai dan bisa dititip di pintu masuk dekat loket masuk. Puas dengan foto-foto didalam sambil melihat-lihat pagoda yang menurut saya indah tersebut, kami lanjut makan siang di sekitar pagoda setelah itu ke Bogyoke market untuk BELANJA!!! HOREEE...!!! 
Shwedagon pagoda
Bogyoke market atau yang dulu dikenal dengan nama Scott’s market adalah pasar dengan arsitektur kolonial Inggris yang masih dipertahankan keasliannya. Dibangun sekitar tahun 1926 pada saat dijajah oleh Inggris. Tempat ini merupakan tempat yang sangat diminati oleh wisatawan asing termasuk kami :D. Disini kami memuaskan keinginan kami untuk berbelanja. Maklumlah, dari awal mendarat sampai hari terakhir kami memendam keinginan berbelanja maunya suapay di hari terakhir bisa ubek-ubek pasar ini. Dari waktu yang kami tetapkan hanya 1 jam, molor sampai 2 jam. Itupun masih kurang. Sebenarnya pernak pernik Myanmar ga jauh beda dengan Laos, Kamboja dan negara Indochina lainnya. Tapi tetap aja yaa, namanya juga perempuan kalo ga masuk pasar sekedar untuk liat2 memuaskan keinginan kayanya ga afdol hehehhe.
Didalam Bogyoke Market
Penjelajahan kami di Bogyoke market harus berakhir dengan segera karena kami harus segera ke airport. Kami kembali ke taxi sewaan dan langsung menuju airport. Perjalanan 30 menit menuju bandara diiringi oleh hujan yang turun di kota Yangon. Seakan-akan ikut bersedih dengan kami yang harus pergi meninggalkan Myanmar yang menurut saya masih sangat otentik ini.