February 28, 2012

Nasionalisme


"Orang bilang, nasionalisme semakin tebal ketika kita berada di luar negeri, ketika mulai melihat negeri kita dari luar kotak. Negeri asing yang diimpikan, kenyataannya bukan selalu nirwana" 


Garis Batas hal.227 - Agustinus Wibowo

February 17, 2012

Splendid Sri Lanka Pt 2: Kandy - Sigiriya - Negombo

Pattipola Train Station
Untungnya saat kami tiba di Pattipola kereta belum lewat. Kereta berangkat jam 11.45 sementara kami tiba di stasiun jam 11.30.. Tiket seharga Rs 250.00 untuk perjalanan lima jam di kelas Ekonomi sudah terbeli. Sebenarnya untuk mencapai Kandy hanya dua jam saja naik bis tetapi kami sepakat untuk naik kereta untuk mendapatkan suasana yang berbeda di Sri Lanka. Wah, masih ada waktu nih…. masih bisa poto poto di stasiun yang terlihat sangat jadul dan menarik ini.

Di stasiun kami kenalan dan berbicara dengan Kepala Stasiun, Mr. Parakrama yang ramah bahkan berfoto bersama dengan janji kami akan mengirimkan foto tersebut kepada beliau (sampe saat saya menulis blog ini belom terkirim juga nih …..) Stasiun kereta Pattipola menurut kepala stasiun adalah stasiun kereta tertinggi di Sri Lanka dengan ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut. Tidak lama kereta yang kami nanti datang tepat waktu.


  
Karcis kereta yang kami beli adalah karcis kelas dua, ibarat di Jakarta tiket kelas ekonomi dengan bangku kayu dan jendela terbuka. Kursi-kursi di dalam gerbong sudah terisi penuh tapi karena sudah terlalu capek untuk mencari kebelakang diputuskan untuk mengambil satu tempat di gerbong restorasi kereta tentunya setelah meminta ijin terlebih dahulu kepada bapak penjaga warung kereta.. dan .. voila … kami duduk di lantai kereta hahahaha.

the people: ibu-ibu Tamil, anak sekolah, pengamen, smiling mother dan cantiknya Esperanza
Nggak rugi ngambil lapak di restorasi karena banyak sekali hal-hal yang dapat dilihat dan kami alami. Berbagai macam orang dari berbagai jenis etnis, kelamin dan suku serta bahasa kami temui dan terkadang kami ajak berbicara. Ada dua orang ibu berpakaian sari yang sudah pasti tidak bisa berbicara bahasa inggris tapi kami dengan PD nya mengajak mereka berbicara walalupun dengan bahasa tarzan hahaha. Kemudian kami berjumpa dengan Esperanza, anak kecil yang sangat cantik sedang membeli makanan dengan ayahnya yang keturunan Sri Lanka Malaysia dan juga tiga anak lokal yang baru saja pulang sekolah. Jika perjalanan Kolombo – Nuwara Eliya dengan bus tidak terlalu kami nikmati. Lain halnya dengan perjalanan Pattipola – Kandy ini. Selain banyak orang yang ditemui pemandangannya juga ngga kalah menarik. Landscape yang berbukit-bukit berwarna hijau di penuhi oleh tanaman teh. Sesekali air terjun terlihat di beberapa tempat sepanjang perjalanan.

Kandy
Kira-kira jam lima sore, perjalanan kereta kami berakhir dan langsung disambut oleh hiruk pikuk kota Kandy di hari Jumat. Saya ngga nyangka kalau Kandy akan sangat ramai seperti ini. Agak shock juga setelah melihat Nuwara Eliya yang tenang dan nyaman kemudian berganti suasana Kandy yang ramai seperti ini. Sebenarnya sejak dari Kolombo, Marlon sudah memperingatkan bahwa Kandy lebih ramai dari Colombo tetapi tetap saja bukan bayangan seperti yang saat ini saya lihat. Bus-bus besar serta truk berlalu lalang disertai macet serta polusi udara yang cukup mengganggu. Belum lagi orang-orang yang berlalu lalang dan berjalan sangat cepat dan bebrapa kali menabrak saya. Dengan kondisi yang cukup lelah setelah trekking di pagi hari ditambah perjalanan panjang di kereta selama lima jam belum lagi kondisi perut kosong kami yang menyebabkan sakit kepala yang amat sangat rasanya ingin sekali berteriak di tengah-tengah kerumunan orang-orang ini. Saat it juga saya langsung mem-vonis bahwa saya tidak suka Kandy.

Hal pertama yang kami lakukan sesampainya kami di kota Kandy adalah mencari makan dan setelah perut terisi penuh kamipun mulai bisa berpikir untuk mencari tempat penginapan. Jadi teringat istilah orang batak (kebetulan saya keturunan Batak) bahwa dengan makan bisa membuat kita berpikir lebih jernih, makanya setiap kali ada acara akan diawali dengan makan-makan agar acara bisa berlangsung dengan lancar hehehehe. Kembali ke penginapan seharusnya kami mendapatkan host di kota ini tapi karena tidak ada kabar dari calon host diputuskan untuk mencari penginapan sendiri.  

Setelah perjalanan yang cukup jauh hampir mengelilingi Danau Kandy akhirnya kami mendapatkan penginapan di sebelah selatan danau tapi sepertinya perjalanan kami belom bisa berakhir. Kota Kandy adalah kota yang berbukit-bukit dan posisi penginapan kami berada diatas alhasil kami harus menanjak dengan carrier yang lama-lama cukup menyiksa beratnya. Jaraknya hanya pendek saja, mungkin sekitar 200 meter dari danau, tetapi karena tanjakannya lumayan curam rasanya makin berat saja naik ke atas… ffeeuuhhh.

Perjalanan hari ini sangat panjang dan menguras tenaga, tetapi kami mendapatkan banyak sekali pengalaman berharga dari mulai pagi, siang, sore sampai malam dan karena kelelahan malam itu diakhiri dengan cepat dan kami pun terlelap bersama bayangan petualangan keesokan hari. Selamat malam KANDY.

Hari ke-empat: Explore Kandy lanjut menuju Sigiriya.
Tubuh yang kelelahan membuat saya malas bangun pagi, disamping udara Kandy yang sejuk membuat saya makin menarik selimut dan melanjutkan tidur bareng Milla. Sementara dua orang teman saya yang lain, Yudi dan Ramon, bangun pagi untuk photo hunting disekitar Danau Kandy. Ketika saya sudah sepenuhnya bangun matahari sudah tinggi. Setelah packing dan sarapan pagi kami pun check out dari penginapan. Rencana awal adalah dua malam tinggal di Kandy tapi setelah berbagai macam pertimbangan diputuskan hanya satu malam saja dengan tujuan berikut Sigiriya dengan menggunakan bus sekitar jam empat sore nanti.

Kota Kandy dari Bukit
Karena waktu masih cukup kamipun mulai meng-eksplore Kandy dengan menggunakan tuk tuk yang kami sewa Rs 500 untuk kami ber-empat. Sebenernya aga sempit sih, tapi supir tuktuknya tidak keberatan. Diawali dengan foto-foto di danau Kandy kemudian lanjut ke Kandy Top Hill, yaitu tempat dimana kota Kandy bisa terlihat dari ketinggian. Kandy merupakan ibu kota terakhir dari Kerajaan Kuno Sri Lanka.  Posisinya berada di tengah-tengah bukit Kandy sehingga landscapenya berbukit-bukit.
Sudut kota Kandy
Kami sempat dibawa ke tempat tempat souvenir oleh supir Tuktuk kami, salah satunya adalah Batik. Yes.. Batik adalah salah satu souvenir yang bisa dijadikan oleh-oleh dari Sri Lanka. Menurut buku Lonely Planet yang saya baca batik ini dibawa Belanda dari Indonesia jadi nggak heran kalau namanya sama. Yang pasti batik Sri Lanka dan batik Indonesia jauh berbeda dari segi motifnya. Perjalanan lanjut ke tengah kota. Setelah menukar uang dan mampir ke restaurant untuk membeli makan siang dan supermarket untuk membeli minum kami lanjut ke The Temple of Tooth Relic.

The Temple of Tooth Relic merupakan salah satu tempat terhormat bagi umat Buddha di Sri Lanka dan juga dinyatakan sebagai salah satu situs warisan dunia oleh UNESCO. Temple ini dikelilingi oleh pagar tinggi, dan untuk masuk ke Temple ini diwajibkan memakai pakaian rapih. Tidak boleh pakai celana pendek diatas lutut, baju tidak berlengan serta kepala tidak boleh tertutup (topi, jilbab dll). Alas kaki pun harus dilepas ketika masuk ke tempat ini. Dengan harga tiket masuk Rs 1,000 (Rp 80,000) kami mendapatkan satu buah DVD yang bisa dibawa pulang.

Menurut yang saya baca, Tooth Relic ini memainkan peranan penting dalam pemerintahan dalam pemerintahan lokal. Yang dipercaya siapapun yang memegang atau mendapatkan Relic ini bisa berkuasa memegang pemerintahan. Oleh sebab itu banyak sekali perang terjadi akibat dari perebutan Tooth Relic tersebut. Saat ini The Sacred Tooth Relic menjadi representasi dari Buddha yang menjadikan tempat ini sebagai tempat penyembahan dan berdoa bagi umat Buddha seperti yang saat ini saya lihat.

Waktu menunjukkan hampir jam tiga sore. Kami harus bergegas untuk mengejar bis jam empat sore menuju Sigiriya. Setelah mengambil tas-tas kami di penginapan lalu langsung berangkat menuju ke terminal. Untungnya kami datang tepat waktu karena bis yang kami naiki segera berangkat begitu kami masuk. Perlahan kami meninggalkan kota Kandy yang semula kami tidak suka tapi pada akhirnya meninggalkan banyak cerita seru di tempat ini.

Perjalanan menuju Sigiriya ditempuh selama dua jam ke Dambula terlebih dahulu kemudian lanjut kurang lebih tiga puluh menit dengan bis menuju Sigiriya yang langsung berhenti tepat di depan penginapan yang sudah kami pesan. Kami beruntung karena memesan kamar di Nilmini Lodge terlebih dahulu karena sepertinya tempat ini menjadi favorit penginapan di Sigiriya. Hanya Rs 2.000/malam untuk kami berempat dan staffnya ramah. Lagipula disini terdapat wi-fi walaupun harus bayar.

Hari ke-5 Sigiriya – The Lion Rock lanjut ke Negombo
Untungnya kami bermalam di Nilmini Lodge karena posisinya yang strategis, hanya jalan kaki kurang lebih 15 menit menuju Sigiriya yang letaknya persis dibelakang Guest House. Jalan bertanah merah yang asri dengan pohon-pohon disekitarnya ini  bisa dilalui mobil serta van bahkan bis besar. Siap-siap tutup hidung atau muka setiap kali ada mobil yang lewat karena debunya berterbangan kemana-mana. Jalan kaki kurang lebih 500 meter tidak membuat kami capek apalagi di sebelah kanan jalan masuk terdapat kolam kolam yang luas dan indah .. pas banget untuk dijadikan objek foto heheheh. Lokasi loket tiket berada bersebrangan dengan pintu gerbang atau pos pengecekan tiket. Jam 8 pagi para pengunjung sudah mulai berdatangan untuk masuk ke Sigiriya. Harga tiket masuk ke Sigiriya adalah Rs 3.450 (Rp 275.000) termasuk DVD yang bisa dibawa pulang. Setelah pengecekan tiket, kami langsung masuk menuju Sigiriya



Sigiriya adalah sebuah kota yang dibangun di atas batu dibangun oleh Raja Kassapa I ( 477 – 95 SM), merupakan tempat yang sangat unik dari segi arsitektur dan konstruksinya, lukisan dinding beserta dinding kaca. Sigiriya sendiri terletak di distrik Matale juga merupakan salah satu situs warisan dunia UNESCO dan salah tujuan wisatawan yang populer di Sri Lanka. Tinggi batu ini kurang lebih 200 meter dengan posisi ketinggian sekitar 380 meter diatas permukaan laut. Yak .. benar, ketemu tangga nih alias nanjak lagi kitaahhhh.


Lion's Gate
Untuk mencapai gerbang Singa dan menuju ke puncak saya dan teman-teman harus melalui puluhan anak tangga yang melelahkan dan buat kaki pegal serta napas ngos-ngosan. Pokoknya nanjak itu ngga enak .. makanya saya gag hobi naik gunung *excuse, hihihihih, tapi viewnya kwereeeennn …… warnanya ijoooo semua disekeliling Sigiriya. Jika dilihat dari atas yaitu tangga utama menuju gerbang Singa bisa terlihat taman-taman yang tertata dengan indahnya beserta irigasi serta taman-taman airnya. Jika musim hujan air mancur masih berfungsi sangat baik tanda bahwa tempat ini sangat terawat.

Setengah perjalanan menuju Lion’s Gate terdapat gallery lukisan dinding yang dicat di atas permukaan batu. Dari 500 lukisan wanita yang dulu di lukis hanya tersisa 22 buah yang masih dalam kondisi baik. Setelah galeri tersebut kami berjalan menuju dinding kaca (Mirror Wall) yang dulunya meruapakan kaca yang di poles sangat halus sehingga bisa melihat sang raja  bisa melihat dirinya sendiri melalui dinding tersebut. Dinding tersebut dari porselin yang berkualitas sangat baik.. sumprit nggak tau porselen apaan hehehe. Kurang lebih 1 abad yang lalu jika pengunjung datang ke tempat ini bisa menulis di atas dinding ini. Pada saat ini tentu saja hal itu dilarang. Jangankan menulis, menyentuh pun kami tidak diijinkan. Iseng-iseng saya coba ngaca di mirror wall.. ternyata… nggak ada bayangan saya… hahahaha.
Mirror Wall dan Lukisan Dinding
Akhirnya kami tiba di Lion’s Gate of Sigiriya. Kenapa namanya Lion Rock (Sigiriya) karena pada jaman itu ada patung singa besar yang sedang duduk diujung batu. Walaupun sekarang sudah tidak ada lagi singanya tapi jejak kaki singa serta reruntuhannya masih terlihat jelas, yang menurut saya makin membuat tempat ini menarik. Dan di tempat itulah menjadi spot untuk foto-foto para turis .. dan juga saya :D. Matahari diatas sana boleh aja terik tapi udara sekitarnya sangat sejuk. Saya beristirahat sebentar sambil menikmati angin sepoi-sepoi dan juga pemandangan indah sekitar Sigiriya yang semuanya berwarna hijau.Di kejauhan tampak patung Buddha berwarna putih garis lurus dengan posisi Sigiriya.

Patung Buddha
Pondasi Istana
Setelah ngasonya selesai kami langsung menuju puncak atas. Kali ini tangganya makin mengecil alias tidak ada tempat beristirahat sama sekali. Dengan sisa sisa perjuangan akhirnya saya tiba di puncak atas .. semaput, ngos-ngosan. Tapi setelah melihat pemandangannya rasa capek ini worthed banget. Dari puncak ini bisa terlihat pemandangan 360 derajat landscape dari Sigiriya. Di kejauhan tampak danau di bingkai warna hijau pohon-pohon. Disinilah, pada jaman itu, berdiri istana kerajaan yang sekarang tersisa hanyalah pondasi.

Setelah puas meng-eksplore kami kembali turun ke bawah menuju penginapan. Kalau perjalanan naik memakan waktu sekitar satu jam setengah, kami turun hanya…. lima belas menit saja hahahaha .. cepet yak. Kembali ke penginapan kami mandi dan bersih –bersih untuk melanjutkan perjalanan ke Negombo. Dari Sigiriya kami harus ke Dambula kemudian ke Kurunegala lalu ke Negombo, semuanya dengan menggunakan bis.

menikmati indahnya landscape Sigiriya
Di Dambula kami menyempatkan untuk makan siang karena perjalanan yang lama ke Negombo sekitar 4 jam. Bis tidak ber AC sepanjang perjalanan Dambula ke Kurunegala berjalan dengan mulus dan lancar, saya dan teman-teman sempat tertidur dan bangun ketika bis memasuki kota kecil Kurunegala satu setengah jam kemudian. Tanpa beristirahat kami melanjutkan perjalanan ke Negombo dengan menggunakan bis. Kali ini jangankan tidur untuk duduk dengan nyaman saja susah karena saya dan Yudi duduk di bangku belakang bis, sementara supir bisnya nyetir dengan kencang dan ugal-ugalan. Walaupun begitu saya tetap bersyukur karena jika tidak seperti itu perjalanan yang ditempuh pasti bisa melebihi tiga jam setengah.

Matahari telah menghilang hanya semburat jingga tersisa di ufuk barat ketika kami memasuki kota Negombo. Saya melihat kerumunan masyarakat di pinggir jalan yang ternyata umat Katholik yang sedang melakukan misa minggu *baru sadar kalo sudah hari minggu. Niatnya sih mau cari penginapan dengan menggunakan peta yang ada di Lonely Planet book tapi kammi malah nyasar makin jauh. Sementara orang-orang sekitar yang kami tanya juga tidak membantu, akhirnya diputuskan untuk naik tuk tuk dan sampailah kami di kawasan penginapan tersebut. Setelah mengubek-ngubek daerah sekitar, akhirnya kami menemukan penginapan yang sesuai dengan budget kami (Rs 2.000). Malam ini adalah malam terakhir kami di Sri Lanka dan akan kami habiskan untuk melihat-lihat di sekitar penginapan, mencari oleh-oleh dan juga makan malam.

Hari ke-enam: Goodbye Sri Lanka
Jarak Negombo ke Bandaranayake International Airport dapt ditempuh dengan 30 menit saja  menggunakan tuk tuk (Rs 700) ataupun bis. Itulah sebabnya kami memilih Negombo sebagaian kota trasnsit kami terakhir. Tak heran jika di Negombo banyak sekali penginapan-penginapan dan turis asing.

Jam 5.30 pagi kendaraan sewaan sudah stand by untuk mengantar kami ke airport. Setelah membayar penginapan dan juga kendaraan sewaan kami berangkat menuju bandara membelah kota Negombo yang sebagian penduduknya mungkin masih terlelap. Bandara sudah ramai ketika kami tiba. Setelah check in dan boarding tak lama pesawat kami tinggal landas menjauhi Bandaranayake Airport. “Semoga saya kembali kesini untuk mengunjungi Adam’s Peak” kata saya dalam hati.

February 16, 2012

Splendid Sri Lanka Part 1: Colombo - Nuwara Eliya - Horton Plains National Park

Hari ke-1 : Kolombo
Bandaranayake Iinternational Airport
Pesawat mendarat pukul 7.15 waktu Kolombo. Satu setengah jam lebih lambat dari waktu Jakarta. Perasaan senang karena sudah mendarat di tempat tujuan setelah perjalanan yang membosankan kurang lebih tiga jam 15 menit Kuala Lumpur – Kolombo. Untuk ukuran bandara international Bandaranayake International Airport tampak lengang pagi itu. Saya, Milla dan Ramon segera bergegas menuju imigrasi setelah menyelesaikan ‘urusan’ pagi hari. Melihat antrian Visa yang cukup panjang, kami bersyukur karena sudah mendapatkan visa sebelumnya melalui online visa. Apply online visa untuk WNI mulai berlaku per tanggal 1 January 2012 sebesar USD 20.00 yang harus dibayar dengan kartu kredit. Lepas urusan imigrasi kami keluar bandara dan langsung menukar uang di money changer yang terletak persis di depan pintu keluar gedung airport dengan rate USD 1.00 sama dengan Rs. 112.30

Udara sejuk dan segar menyambut kami ketika keluar dari wilayah airport. Terlihat kesibukan orang-orang lokal yang sedang menunggu kedatangan sanak saudara. Kami langsung mencari bus menuju ke terminal terdekat untuk kemudian menuju ke Kolombo tempat kami akan bertemu host kami, Marlon. Setelah bertanya beberapa kali ke petugas bandara yang sangat ramah akhirnya kami naik free shuttle bus kurang lebih 10 menit menuju terminal terdekat dari bandara dan lanjut menuju ke Kolombo dengan mini bus ber AC selama kurang lebih dua jam (Rs 100.00/orang) menuju Kolombo. Kurang tidur akibat bermalam di LCCT Kuala Lumpur menyebabkan kami terlelap selama perjalanan dan bangun pada saat bus sudah memasuki Kolombo.

Pettah – Fort Railway Station adalah meeting point kami bersama dengan Marlon.Sambil menunggu Marlon datang kami melihat-lihat areal sekitar stasiun kereta yang tua ini. Dari stasiun inilah berbagai macam kereta tujuan kota di Sri Lanka dapat ditempuh. Jalan raya depan stasiun berlalu lalang berbagai jenis kendaraan mengantar penumpangnya ke tempat tujuan. Jenis bus di kota ini buat saya termasuk jadul dan baru tahu belakangan kalau bus tersebut adalah buatan India. Tak jauh dari stasiun berjejer Tuk Tuk berwarna-warni kinclong. Tuk-tuk yang saya maksud adalah bajaj BBG kalau di Indonesia.

Tuktuk alias Bajaj BBGnya di Colombo
Kurang lebih 30 menit kami  menunggu akhirnya Marlon datang dan langsung membawa kami menuju tempat makan. Jam masih menunjukan pukul 11 tapi perut kami sudah sangat lapar dan kami langsung teringat perbedaan waktu yang adalah saat makan siang di Jakarta, tak heran kalau kami sudah lapar. Kami lanjut ke kantor Marlon di area Cinnamon Park. Dari situ kami mulai menjelajah kota Kolombo sendiri dikarenakan Marlon harus bekerja. Jangan salah kaprah dengan nama Cinnamon Park, bukanlah sebuah taman seperti layaknya Taman Monas di Jakarta tapi lebih sebagai kompleks perumahan elit termasuk perumahan pejabat-pejabat di Sri Lanka.

Siang itu Kolombo sangat cerah cenderung panas. Cuaca yang ideal untuk jalan-jalan. Dengan bermodalkan buku Lonely Planet kami memulai petualangan kami di mulai dari Independence Memorial Hall, adalah sebuah monumen nasional yang dibangun untuk memperingati kemerdekaan Sri Lanka dari penjajahan Inggris. Didepan monument juga terletak patung perdana menteri pertama Rt.Hon. Don. Stephen Senanayake yang dikenal sebagai “Bapak Bangsa” oleh rakyat Sri Lanka. Selain sebagai tempat upacara keagamaan dan perayaan hari Nasional tahunan tempat ini juga di dipergunakan oleh masyarakat sekitar sebagai tempat berkumpul karena tamannya yang luas dan teduh.

Dari Cinnamon Park kami melanjutkan perjalanan dengan menyewa Tuktuk untuk keliling kita seharga Rs 1.000 dengan tujuan pertama adalah Laksala. Menurut Marlon, Laksala adalah pusatnya kerajinan atau oleh-oleh dari Sri Lanka. Iseng-iseng kami masuk ke toko ini dan sesuai perkiraan barang-barangnya cukup mahal tapi dengan kualitas yang lumayanlah. Puas ubek-ubek di Laksala kami melanjutkan perjalanan Gangaramaya Temple kemudian South Beira Lake. Yang menyenangkan dari kota ini adalah kota yang bersih dan tempat pejalan kaki yang nyaman dan lebar. Burung gagak dan jenis burung lainnya terbang dengan bebas dan liar tanpa takut akan diusili oleh tangan-tangan jahil. Pikiran saya langsung mengembara .. kalo di Jakarta jangan harap ada burung beraneka ragam seperti yang saya liat saat ini. Yang ada ditangkap dan dijadikan binatang peliharaan.Tapi hati-hati bila berjalan dibawah pohon, namanya juga burung pasti dengan sesuka hati buang kotoran dimana saja dan sialnya teman saya kena hahahahhah :D.
dari atas kanan ke kiri bawah: Bus di Colombo, Lanka Rupee, saya bersama wanita perkaian sari, Independence National Museum, Gangaramaya Temple, South Beira Lake

Perjalanan hari itu kami akhiri di Galle Face Green yang merupakan sebuah taman luas yang menghadap langsung ke arah Barat samudera India. Walaupun hari itu adalah hari kerja tapi tempat ini cukup ramai oleh masyarakat yang berkumpul, penjual makanan berjajar rapih disepanjang tepi pantai yang sudah di aspal. Ada juga yang sedang jogging di sore hari dan lagi-lagi burung gagak terbang dengan liarnya di sekitar kami. Hari pertama ditutup oleh indahnya matahari terbenam di horizon samudera India. FYI, jangan harap untuk ber'kelana' di malam hari sekedar nongkrong di cafe karena jam 9 malam kebanyakan toko, restoran dan cafe di Kolombo sudah tutup. Kami harus puas dengan Mc.Donald yang buka sampai jam 12 malam sambil menunggu Marlon yang akan menjemput kami. Kalo nongkrong di pinggir pantai juga tidak mungkin karena anginnya yang kencang dan cukup dingin.

Sunset di Galle Face Green

Hari ke-2 Kolombo to Nuwara Eliya
Hari itu kami mulai jam 8.30 di pagi hari, kami mampir di sebuah toko roti disekitaran rumah Marlon.Selama di Sri Lanka kami sering sekali beli kue dan roti di toko roti. Sebenernya tidak ada yang khas, tapi berhubung saya agak 'susah' bergaul dengan makanan lokal, jadi makan roti atau kue adalah pilihan yang netral buat saya. Setelah mengisi energi kami bergegas menuju ke Pettah Fort Railway Station dengan menggunakan bus untuk menemui Yudi yang tiba hari ini dari Kuala Lumpur.

Pettah 
Setelah bertemu dengan Yudi, kami langsung menuju Terminal Bus yang letaknya persis disebelah Stasiun kereta. Yaa .. ga disebelah persis sih, agak jalan kurang lebih 300 meter. Kami beruntung mendapatkan bis yang sebentar lagi hampir berangat menuju Nuwara Eliya. Waktu menunjukkan pukul 11.15 ketika perlahan bis AC full musik Sri Lanka (kalau di Indonesia ibarat dangdut koplo sepanjang Pantura :D) yang kami tumpangi meninggalkan terminal kemudian Kota Kolombo.


Perjalanan yang akan kami tempuh kurang lebih 6 jam (Rs. 375.00) melalui jalan yang mulus naik dan turun bukit dan melewati pergunungan teh yang indah. Udara dingin mulai terasa ketika bis berhenti disalah satu kota (saya lupa namanya) supaya penumpang bisa beristirahat dan makan siang. Kurang lebih satu jam sebelum memasuki wilayah Nuwara Eliya perjalanan makin menanjak perkebunan teh makin banyak terlihat disana sini, tidaklah heran kalau teh merupakan komoditi ekspor nomor satu Sri Lanka.
suasana kota Nuwara Eliya
Suasana kota Nuwara Eliya

Perlahan bus mulai memasuki kota Nuwara Eliya. Perumahan yang semula jarang terlihat mulai ramai. Sinar matahari sore menyinari kota indah tersebut yang dikenal sebagai Little England. Akhirnya kami pun berhenti di terminal kota Nuwara Eliya dan langsung disambut oleh udara dingin di kota yang mempunyai ketinggian sekitar 1.800 meter di atas permukaan laut tersebut. Baru saja kami menginjakkan kaki sehabis turun dari bus datanglah seorang pria menawarkan kami paket untuk pergi ke World’s End, yang kebetulan memang untuk itulah kami datang ke Nuwara Eliya. Setelah berkutat dengan tawar menawar akhirnya tercapai kesepakatan yang cukup memuaskan bagi kami. Kami mendapatkan harga paket yang murah untuk Penginapan (Rs 2.000/malam) dan Van (Rs 3.000) yang akan kami pakai keesokan harinya ke World’s End. Dengan van sang calo kami menuju ke penginapan kami yang sederhana tapi bersih.

Tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang ada setelah meletakkan barang di kamar penginapan dan bersih-bersih, kami langsung bergegas keluar untuk menikmati kota Nuwara Eliya yang cantik. Pemandangan alamnya yang berbukit-bukit ditambah udara dingin dan kabut yang mulai turun pasti mengundang decak kagum bagi siapa saja yang datang ke kota ini termasuk kami berempat.

oleh-oleh khas Sri Lanka
Dahulu kota ini dijadikan kota peristirahatan oleh pegawai-pegawai Inggris sekedar untuk berburu, berkuda, bermain polo, golf ataupun kriket. Tidak heran jika banyak rumah dan gedung bergaya arsitektur Inggris yang cantik dan masih terawat dengan baik disini. Sore berganti dengan malam dan udara dingin menusuk semakin terasa. Setelah makan malam dan mencari beberapa keperluan di supermarket lokal kami kembali ke penginapan, masih sempat foto2 sebentar sih hahahah. Kami juga sempat belanja untuk oleh-oleh berupa teh Dilmah yang harganya super muraaaahhhh disini. Udara dingin makin menjadi walaupun seluruh badan sudah dililit oleh berbagai macam sweater dan selendang. Sampai-sampai berbicara pun mengeluarkan uap dari mulut kami, saking dinginnya :D. Diperkirakan malam ini suhunya mencapai 120 saja. Pantes dingin bangetttttt .. brrrrr

                Jika kalian memutuskan untuk pergi ke kota Nuwara Eliya, sangat disarankan

                untuk membawa baju hangat seperti sweater dan jaket serta syal. Di siang hari kota 
                ini sejuk dengan suhu sekitar 19 - 20 derajat dan sangat dingin (buat saya) di
                malam hari sekitar 9 - 10 derajat  

dinginnya Nuwara Eliya

Hari Ke-3 Horton Plains National Park (HPNP)
menuju Horton Plains National Park
Menurut informasi pemandangan yang indah dan spektakuler dari Horton Plains National Park adalah saat pagi hari sekitar jam 7 dimana matahari bersinar terang dengan langit biru serta kabut yang masih menyelimuti sekitarnya. Untuk itu kami harus rela bangun jam 4.30 pagi karena kami akan dijemput oleh van sewaan kami jam 5.30. Suhu saat malam hari saja sekitar 120 apalagi pagi pagi subuh. No pain No Gain.. jika ingin mendapatkan pemandangan yang indah rasa dingin itu harus kami lawan.. penuh perjuangan melepas selimut dari badan ini.... Berhubung dinginya keterlaluan (buat kami yang hidup di daerah tropis) alhasil tidak ada yang mandi pagi itu walaupun tersedia air panas hahahahah. Hanya cuci muka dan sikat gigi saja. Kami memutuskan untuk langsung check out kemudian lanjut ke Kandy maka semua barang kami bawa dan kami taruh di mobil van. Jangan takut akan kedinginan selama di dalam van karena mobil ini dilengkapi oleh lampu ultraviolet yang dipasang di dalamnya dan membuat kami hangat.... 


hello human... how are you?


  
Semburan jingga di Timur mulai terlihat ketika van kami mulai menanjak ke Taman Nasional tersebut. Matahari mulai menampakan sinar indahnya. Jarak yang harus ditempuh untuk mencapai tempat tersebut kurang lebih 33 km dengan waktu tempuh 1,5 jam. Hutan pinus dan tanaman  hutan serta padang rumput yang dibanyangi oleh kabut perlahan mulai tersingkap. Yang saya tahu diluar sana udaranya pasti dingin sekali. Walaupun jalannya menanjak tapi sangat mudah dilalui oleh van kami. Satu hal yang saya kagumi dari Sri Lanka adalah infrastuktur yang sangat baik sepanjang yang saya kunjungi dan sangat menunjang kepariwisataaan mereka.

Horton Plains National Park adalah Taman Nasional dan situs warisan dunia yang dilindungi oleh UNESCO, terletak di dataran tinggi bagian tengah sebelah selatan Sri Lanka dengan ketinggian mencapai 2.100 – 2.300 meter di atas permukaan laut. Keindahannya tidak diragukan lagi. Saya dan ke tiga teman yang lain tak henti-hentinya berdecak kagum oleh keindahan dan keasrian dari Taman Nasional ini.

Tiket HPNP adalah Rs 9.000 untuk kami ber-empat atau Rs 2.250/orang biaya sudah termasuk tiket masuk ke Taman Nasional dan biaya parkir kendaraan serta pajak dan service charge. Kalau di kurs ke rupiah sekitar Rp 180.000 per orangnya. Tiga daya tarik utama dari HPNP adalah Mini World’s End, World’s End dan Air Terjun Baker. Mini World’s End dan World’s End merupakan tebing yang sangat tinggi dan sangat curam dengan kedalaman 200 meter untuk Mini World’s End dan 900 meter untuk World’s End. 

Untuk mencapai ketiga tempat tersebut kami harus menaklukkan jalur trekking sepanjang 10 km dengan waktu tempuh tiga jam menurut ranger setempat dan kami menyelesaikan dengan waktu .........EMPAT jam saja sodarah sodarah .... pastinya plus foto-foto dan jalan santai. Matahari boleh bersinar cerah tetapi udara tetep aja dingin untuk itulah kami masih memakai jaket dan syal. Ada dua alternatif jalan untuk mengeksplore ke tiga tempat tersebut yaitu jalur kiri dan jalur kanan. Sebenernya sama aja cuma beda arah. Kebetulan kami ambil jalur kiri yang pada akhirnya tidak kami sesali karena jalur trekkingnya lebih bersahabat yaitu lebih banyak jalan menurun ketimbang mendaki hhahahaha.


Langit Biru tanpa awan 


Savana


Baker's Fall
Padang rumput serta bukit bukit (seperti) teletubies ditambah langit biru bersih tanpa awan tidak pernah membuat kami bosan sepanjang jalur trekking yang kami lalui. Rasanya nggak akan pernah berhenti kami mengabadikannya dengan kamera.... Cantik.. cakepp beautiful .. you named it lah. FYI, Trekking di HPNP nggak perlu ranger atau guide karena jalurnya memang sudah ada dan bisa dilewati dengan mudah. Ketika akhirnya kami telah selesai trekking dan kembali ke gerbang awal baru sadar kalau kami sangat kelelahan dan tidak ada yang sarapan pagi!!! Hanya modalkan coklat yang dibeli semalam di supermarket dan air minum. Jangan harap ada tukang jualan makanan diatas sana apalagi jualan Indomie rebus atau jagung bakar *gleg.
             Sekedar saran, jika kalian suka dengan alam, HPNP adalah tempat yang
             sangat direkomendasikan. Jadi jika waktu kalian cukup pergilah ke tempat ini :D

Didepan rumah ranger atau kantor saya dan Ramon beristirahat sebentar diatas rumput dan sempat terlelap walaupun hanya lima menit saja, lumayan untuk menambah tenaga. Tak lama kamipun meninggalkan Taman Nasional ini bergegas menuju stasiun kereta api menuju Kandy. Ready or not ..... here we come Kandy!!! 


saya pun rela bangun pagi untuk pemandangan indah ini


Continue to: 

More Photos :

February 10, 2012

The God of Tiny Details

The God of Tiny Details by Alan Dowd


'God treasures the great things His children do for the kingdom: the martyrs, the pastors, the missionaries who give up everything. But He also treasures the little things that often go unnoticed, at least by us.'


Think about it: the difference between success and failure for that multi-billion-dollar spacecraft, with its precious cargo, came down to three lowly parachutes, each with two million stitches sewn by women whose names are forgotten by history.


http://byfaithonline.com/page/ordinary-life/the-god-of-tiny-details