|
Mingalabar Myanmar! (Hello Myanmar)
|
Delapan Hari Menjelajah Myanmar
Tiket Jakarta - Yangon melalui Kuala Lumpur sudah saya beli (seperti biasa) satu tahun sebelumnya. Sebagaimana layaknya para traveler yang akan jalan saya sangatlah bersemangat dengan perjalanan ke Myanmar. Delapan hari di satu negara adalah termasuk cukup lama sampai saat ini. Maklumlah pegawai yang cutinya cuma 12 hari setaon *sigh* (lah, kok jadi curcol nih??). Makanya kesempatan ini pastinya saya tidak sia-siakan. Saya akan menjelajah the Big Four of Myanmar yaitu: Mandalay - Bagan - Inle Lake dan pastinya Yangon. Awal beli tiket saya hanya sendiri tapi pada saat-saat terakhir ada dua orang teman saya (ninik dan Mira) yang ikutan dan saya sangat senang karena itu artinya akan ada sharing expense .. HOORAY.
Hari ke – 1: Menuju Mandalay
Penerbangan selama 2 jam 30
menit akhirnya berakhir ketika roda pesawat Air Asia menyentuh landasan Yangon
International Airport dengan mulus. Waktu menunjukkan jam 18.40 waktu Yangon,
30 menit lebih lambat dari waktu Jakarta. Bandara tampak lengang sore itu, dari
balik kaca terlihat para penjemput yang sedang memanjang-manjangkan lehernya
memastikan apakah kerabat mereka sudah landing atau belum. Setelah mendapatkan
cap imigrasi kami bergegas menuju money changer yang ada persis di depan pintu
keluar imigrasi. (tentang Visa Myanmar). Kami hanya bisa menukar USD 100.00 tidak bisa lebih dari itu,
*mau berbagi dengan yang lain kali yaaa* gumam saya dalam hati. Rate yang kami
dapat USD 1.00 = Kyats 874.00. Keluar dari pintu airport masih ada dua money
changer lagi. Kami pun menukar lagi. Supaya tidak kekurangan uang di Mandalay.
|
Shwe Mandalar Bus |
Di depan airport sudah
banyak para supir taxi yang menawarkan jasanya untuk mengantar kami ke downtown
Yangon atau ke Terminal bus. Setelah tawar menawar harga akhirnya kami
mendapatkan harga Ks 6.500 untuk sebuah taxi butut tapi supirnya baik dan bisa
berbahasa inggris. Kurang lebih 30 menit kemudian kami tiba di Terminal Bus
Aung Mingalar, tepatnya ke pool bus Shwe Mandalar. Saya beruntung karena bisa
mendapatkan tiket ini lebih dulu karena mendapatkan bantuan dari teman kami
yang orang lokal Yangon. Begitu tiba kami langsung membayar tiket seharga Ks
10.500/orang. Ketika sampai di terminal bus waktu masih menunjukkan pukul 8
malam. Masih ada waktu 1,5 jam lagi dan kami memutuskan untuk makan malam
sebelum berangkat.
Untuk harga Ks 10.500 bus
yang kami naiki ini cukup bagus. Ada selimut dan bantal dan diberi air minum.
Satu yang kurang yaitu tidak dikasih makanan/snack melainkan satu set handuk
kecil basah, sikat gigi sekali pakai dan odol :D. Bus hanya berhenti sekali dan
hanya 30 menit saja untuk sekedar makan atau mencuci muka. Oh iya, walau toilet
yang kami gunakan adalah toilet umum tapi tidak jorok dan tidak bau, udah gitu
air yang dipergunakan untuk flush adalah air sungai, go green gitu deh.
Perjalanan bus lanjut lagi melalui highway yang membelah Myanmar, karena saya
terlelap sepanjang perjalanan jadi tidak terlalu memperhatikan sekitar,
sepertinya jalannya lurusssss terus benar2 bebas hambatan. Sembilan jam
kemudian kami tiba di kota Mandalay.
Hari ke – 2 : Mandalay
Bus perlahan-lahan memasuki
kota Mandalay yang masih sepi. Begitu memasuki Highway Bus Terminal langsung
ramai oleh bus yang berdatangan dari berbagai daerah di Myanmar. Ketika
akhirnya bus kami berhenti kami memutuskan untuk keluar paling belakangan
sementara di depan pintu bus para supir taxi sudah menunggu calon penumpangnya
dalam bahasa lokal. Dan akhirnya ketika kami turun tidak ada satupun yang
berani menawarkan kepada kami, mungkin tahu kalo kami orang asing dan mereka
tidak bisa bahasa inggris. Hanya ada
satu orang saja yang berani berbicara dan kesempatan itu tidak kami sia-siakan
:D.
Sebenarnya Mandalay tidak
kami masukkan ke dalam list perjalanan ke Myanmar tetapi berhubung ada bus
malam kami memanfaatkan kesempatan ini. Dan kami juga memutuskan untuk tidak
berlama-lama di Mandalay. Begitu pagi sampai sorenya diputuskan untuk
langsung berangkat ke Bagan. Untuk itu sebelum memulai explore Mandalay kami membeli tiket ke Bagan dengan bantuan sang
bapak yg bisa berbasaha Inggris tersebut.
Setelah tiket seharga Ks 7.000 terbeli (bus berangkat jam 15.30) kami punya waktu 9 jam untuk menjelajah Mandalay, pastinya kurang sih tapi apa boleh buat waktu yang ada sangat minim. Setelah tercapai kesepakatan harga taxi (baca: angkot, tapi mereka bilang itu taxi) yaitu Ks 30.000 kami memulai perjalanan kami. Harga Ks 30.000
tersebut termasuk harga untuk turis yang harus membayar USD 10/orang untuk
memasuki kota Mandalay. Sang supir berbaik hati menawarkan kami untuk sekedar
menyegarkan badan dirumahnya. Jadi kami langsung menuju rumah
beliau untuk sekedar berganti baju dan membersihkan badan.
Yang aneh dan lucu serta membuat bingung saya dengan cara
berkendara di Myanmar adalah mereka berkendara di sisi kanan jalan tetapi stir mobil
mereka juga ada di kanan. Myanmar banyak menggunakan mobil jepang yang stirnya di sebelah kanan. Tetapi ada juga yang mobil yang
stirnya di sebelah kiri.. nah lo bingung kan?? hahahahha.
Saat kami tiba di rumah
beliau, sang istri baru saja selesai mandi. Dan mandinya dimana sodara-sodarah?
Yaitu di depan rumah dengan menggunakan sarung. Saya yang tadinya ingin mandi
akhirnya batal dan harus puas dengan hanya cuci muka, sikat gigi terus ganti baju. Setelah semua rapi kami ditawari untuk dipasangkan
Thanaka di muka kami masing-masing. Kebetulan banget, karena
memakai Thanaka adalah salah satu yang ingin dilakukan jika berada di
Myanmar. Mulai dari Mira, saya dan kemudian Ninik semuanya dipakaikan Thanaka.
Oh iya, Thanaka adalah sejenis kosmetik alami yang terbuat dari gerusan kulit
kayu yang menyerupai kayu cendana (sandalwood). Biasanya wanita dan anak-anak
akan memakai Thanaka di wajah mereka kadang juga di tangan untuk melindungi
mereka dari sengatan matahari yang cukup terik di negara tersebut. Efek dari
Thanaka adalah seperti memaki lotion anti sinar matahari agar kulit tidak
terbakar akan memberi efek dingin pada kulit yang dipakaikan Thanaka. Boleh
percaya atau tidak tapi hampir setiap wanita Myanmar yang saya temui pasti
mempunyai kulit yang mulus dan bersih :D.
Setelah semua rapi jali dipakaikan Thanaka kami berfoto bersama seperti foto dibawah ini. Do we look like Myanmar people now?? Hehehehe
|
|
Sekilas tentang orang Myanmar lokal yang ditemui setelah beberapa jam berada disini adalah mereka emang nggak ada bedanya dengan orang Indonesia. Kulit sawo matang, rambut hitam, postur badan juga sama. Bedanya ya kalo perempuan memakai thanaka dan rok panjang atau kain (jarang yang pakai celana panjang apalagi celana pendek). Kalau laki-laki
Myanmar menggunakan sarung kemanapun mereka pergi. Apakah itu hendak bekerja,
pergi ke pagoda, bahkan anak-anak sekolah yang pria pun juga pakai sarung untuk
pergi ke sekolah. Ada satu hal yang saya tidak suka dari kebiasaan mereka adalah sebagai pengganti
rokok mereka mengunyah sirih. Bukan masalah kunyah sirihnya sih, tapi mereka
pasti akan meludah setiap saat. Dan ludahnya dibuang di sembarang tempat. Jadi
jangan heran kalo disana dipinggir jalan banyak sekali noda-noda merah. Ya itu adalah hasil dari mereka meludah sirih .. euuwwhhh. Mana bau pulak *sigh*
|
para monk yang akan bersekolah |
Perjalanan pun lanjut dan singgah di
pemberhentian pertama kami yaitu Mahamuni Pagoda. Tak lama kami menghabiskan
waktu disini karena mungkin waktu masih pagi sehingga tidak banyak orang yang
datang. Selesai dari Mahamuni Pagoda kami lanjut ke Sagaing Hill. Sagaing Hill
terletak di Barat Daya kota Mandalay, perjalanan kami melewati indahnya sungai
Irrawaddy dan jembatan Ava yang kokoh. Jika anda punya cukup waktu untuk
mengunjungi Myanmar, selain menggunakan bus untuk pergi ke Bagan bisa dilakukan
dengan transportasi sungai melalui Sungai Irrawaddy ini.
|
Ava Bridge dari Bukit Sagaing |
Untuk mendapatkan
pemandangan yang indah dari Bukit Sagaing Hill, kami harus menaikki beberapa
ratus anak tangga untuk mencapai puncak pagoda. Masuk ke bukit Sagaing tidak
harus merogoh kocek hanya stamina dan kaki yang kuat serta nafas panjang
diperlukan hehehhe. 1 jam kemudian saya sampai di puncak dengan nafas senen
kemis. Setelah berisitrahat sebentar, saya mulai mengeksplore sekitar. Pagoda
tersebut belum terlalu ramai, kebanyakan hanya orang lokal yang sedang berdoa
dan hanya kami yang orang asing ato karena kita datang kepagian yak??? Dari puncak bisa terlihat Jembatan kembar Ava serta luasnya sungai Irrawaddy
yang melewati kota Mandalay. Matahari jam 10 pagi cukup terik ditambah lagi
suasana pagoda yang sangat cerah menambah terik panas suasana sekitar. Beberapa
pedagang menggelar jualan mereka dari mulai makanan sampi baju-baju. Ada yang
pacaran juga loh. Eh? :D
|
Irrawaddy River dari Sagaing Hill |
|
Pagoda di Bukit Sagaing |
Puas dengan Sagaing Hill,
kami melanjutkan perjalanan ke Amarapura, yang terkenal dengan Jembatan U’Bein,
jembatan terpanjang di dunia yang terbuat dari kayu jati. Panjangnya mencapai
1.2 km. Sebelum ke tempat ini kami di ajak ke tempat tenun kain khas Myanmar.. berhubung ini masih di awal perjalanan jadi kami hanya melihat-lihat saja
proses menenun mereka.Kami tiba di tempat U’Bein
Teak wood Bridge pada saat makan siang, angin mulai kencang tapi panasnya cukup
terik. Kami disarankan untuk sewa perahu untuk menikmati ‘danau’ disekitar
jembatan tersebut. Tapi berhubung anginnya kencang dan sepertinya perahu
tersebut tidak meyakinkan kami memutuskan untuk berjalan-jalan saja di sekitar
jembatan. Waktu yang pas untuk
mengunjungin jembatan ini adalah pada saat matahari terbenam, sayangnya itu
tidak mungkin kami lakukan mengingat kami sudah beli tiket ke Bagan sore ini.
Kami lanjut dengan makan siang di sekitar ‘danau’ sambil beristirahat menunggu
jam keberangkatan bus ke Bagan.
|
U'Bein Teak wood Bridge |
Menikmati kota Mandalay bisa
dilakukan dengan berbagai cara, diantara seperti yang saat ini kami lakukan
dengan menyewa kendaraan, mungkin aga mahal tapi buat kami yang hanya punya
waktu beberapa jam cukup efektif rasanya. Beberapa kali kami melihat beberapa
turis asing yang melakukannya dengan sepeda, tentunya ini pasti yang punya
cukup waktu yaa hehehe. Ada juga yang dengan menggunakan bus umum. Oh iya.. bus
umum di Myanmar itu sama dengan bis PPD di Jakarta dari Jepang. Seperti itulah
rupanya, kalau di Jakarta busuk yang ini lebih busuk lagi, hebatnya asap
knalpot yang keluar tidak sehitam yang di Jakarta… tanya kenapa???
Akhirnya kami harus
meninggalkan Mandalay yang terik tepatnya jam 15.30 dengan menggunakan bus
ber-AC (lagi-lagi) dari Jepang. Hanya kami orang asing yang ada di dalam bus.
Untungnya saya hanya duduk sendiri di dalam bus, sementara diseberang samping saya ada
biksu yang sedang mengunyah sirih dan membuang ludahnya di plastik. Dan aroma
sirih pun menguar di dalam bus. Bus melaju diiringi video lagu – lagu Myanmar…
dan sayapun tambah pusing.
Pemberhentian dilakukan
hanya sekali untuk makan malam, padahal suasana masih terang ternyata sudah jam
6.30. Jarak tempuh Mandalay - Bagan adalah lima setengah jam dan kamipun tiba di Bagan tepatnya di Nyaung-U.
Ada tida daerah di Bagan, yaitu Nyaung-U, Old Bagan dan New Bagan. Nyaung-U
adalah tempat dimana pusat wisatawan berada karena di daerah inilah lebih
banyak penginapan dan restoran.
Sesuai saran teman, kami
memilih untuk stay di Nyaung-U. Dengan ojek sepeda seharga Ks 1.000 dengan
keadaan kami dibonceng bertiga (aga sadis sih hihihihi). Kami mulai mencari
penginapan. Setelah 2 kali pindah akhirnya kami memutuskan tinggal di Shwe Na
Di Guest House. Kamarnya cukup luas, tersedia air panas serta handuk dan
breakfast untuk kami bertiga dan kami hanya membayar USD 22 saja/malamnya ..
lumayan murah yaaa hehehe. Oh iya, setiap wisatawan asing yang masuk
ke kota Bagan diharuskan membayar USD 10/orang dan ini berlaku untuk semua
tempat yang ada di kota Bagan, kecuali menara pandang yang harus menambah
sekitar USD 3.00/orang. Pembayaran ini bisa dilakukan di penginapan yang kita tinggali.
Hari ke 3 dan 4 : Bersepeda di Bagan
|
Biking Bagan |
Kami beruntung karena hari ini cuaca cerah dan berlangit biru walaupun berangin cukup kencang, hari-hari sebelumnya berawan dan kelabu. Pas banget karena kami akhirnya memutuskan bersepeda untuk menjelajah
tempat yang dulunya pernah menjadi ibukota beberapa kerajaan kuno di Burma. Sewa sepeda perhari adalah Ks 1.500 ditambah guide Ks 15.000. Sebenarnya kalao
kita mau rental horse chart pasti akan sama sekitar Ks 20.000 seharian tetapi
entah kenapa kami ingin bersepeda dan ternyata memang bersepeda tidak kami
sesali di akhirnya. Kenapa kami pakai guide? Karena kebetulan kami
ditawarkan dan sepertinya guidenya cukup seru (professional biker yang kadang2
merangkap guide :D) dan kebetulan budget kami mencukupi. So there goes our
journey starts. Lima belas menit awal bersepeda saya sudah ngos-ngosan ..
tumben nih gerutu saya dalam hati. Ternyata oh ternyata ban belakang sepeda saya kempes tapi untungnya guide kami
membawa peralatan yang salah satunya adalah pompa, mantap kan??? Karena berulang-ulang sepeda kempes akhirnya pas makan siang sepeda saya dicek dan ditemukan tiga paku saja sodarah-sodarah di ban dalamny *jadi inget ranjau paku di Jakarta*
Bagan atau yang dulu disebut
dengan Pagan terletak di daerah Mandalay. Buat saya Bagan adalah kota yang
bertabur candi dan pagoda, seperti melihat bintang-bintang di langit di malam
hari, seperti itulah Bagan. Mau lihat ke kiri atau kanan yang terlihat adalah
pagoda, candi, pagoda, candi .. baik yang besar maupun yang kecil sekalipun. Sebelum
gempa besar yang terjadi tahun 1975 di Bagan jumlahnya mencapai 4000-an tetapi
setelah gempa yang berkekuatan sekitar 6.5 SR (gempa terbesar yang pernah
terjadi di Myanmar) melanda jumlah dari candi dan pagoda tersebut berkurang
menjadi sekitar 2000-an …. *tetep banyak yak.
Kota Bagan pada saat kami kunjungi sangat berdebu. Debunya bukan karena polusi tapi disebabkan oleh debu tanah kering yang terbawa angin. Jadi kalau mau ke Bagan harus siap-siap dengan masker kali yaa. Tapi kalo saya perhatiin sih walopun berdebu para pengunjung santai-santai aja tuh hm.. Saking cueknya dengan debu yang beterbangan pas kita makan siang di Old Bagan tepatnya di restoran Sarabha yang posisinya pas di depan lapangan luas yang berdebu. Pada saat angin kencang terbanglah debu-debu itu dibawa angin menghampiri kami yang sedang makan. Mungkin itu sebabnya ya makanan di Sarabha enak banget hahahaha.
|
Dont's when you enter pagoda |
Berhubung ada 2000an pagoda di Bagan, gak mungkin juga ya kalo kami kujungi semua. Guide kamipun mengarahkan kami ke beberapa pagoda yang cukup terkenal dan mempunyai sejarah yang cukup unik. Beberapa candi dan tempat yang kami kunjungi
di Bagan:
Htilominlo Pahto
Ananda Pahto : adalah candi yang terkenal karena arsitekturnya yang
indah .. dan emang bener ini candi bagusssss banget. Didalam bangunan candi
tersebut juga ada lukisan-lukisan dinding yang ternyata baru “ditemukan” tiga
bulan belakangan ini.
|
Lukisan Dinding di Ananda Pahto |
Gubyaukgyi : candi yang terletak didaerah Myinkaba ini kaya dengan
lukisan-lukisan dinding didalamnya. Karena gelap untuk melihat lukisan dinding
ini harus menggunakan lampu yang telah disediakan tapi harus berganti-gantian.
Gawdaw Palin Pahto
Thatbyinnyu Pahto : candi paling tinggi di Bagan
Dan beberapa candi-candi
kecil lainnya yang tersebar di wilayah Bagan. Sayangnya kami tidak sempat ke
Dhammayangyi Pahto (pagoda terbesar) karena kemampuan mengayuh sepeda kami yang
makin lama makin melemah hehehehe.
|
Ananda pahto |
Oh iya, kami memulai
bersepeda jam 9 pagi sampai sunset. Satu jam sebelum sunset tiba, kami digiring
ke sebuah candi yang dan memanjat candi tersebut. Sampai disitu, ternyata sudah
ada beberapa orang yang sedang menunggu. Sayangnya sore hari ini cuacanya
berawan dan berangin sangat kencang , tidak seperti di siang hari yang cerah
dengan langit biru. Tapi walaupun sunsetnya kurang cihuy, kami tetap menikmati
indahnya semburat jingga di langit Bagan. Dari kejauhan tampak sapi-sapi
gembalaan yang sepertinya akan kembali ke kandang. Di kejauhan juga sungai
Irrawaddy yang melintasi Bagan tampak keemasan di timpa cahaya matahari sore.
|
Menjelang Sunset |
Untuk informasi, waktu
berkunjung yang paling pas ke Bagan atau Myanmar pada umumnya adalah awal tahun
sekitar January – February, dimana langit dipastikan cerah tidak berawan dan
tidak berangin tetapi suhunya cukup dingin. Pada saat inilah sunrise dan sunset
dipastikan akan menakjubkan hampir setiap harinya dan juga balon udara akan
beroperasi. Saya malah baru tahu dari guide saya kalau balon udara tidak
beroperasi pada saat musim panas.. ya pada saat saya datang ini. Padahal saya
ingin sekali mengambil paket sunrise tapi berhubung sunrisenya juga kurang
cihuy dan balon udara tidak beroperasi kami memutuskan tidak akan mengambil
paket sunrise… mending tidur hehehehehhe.
|
Dhammayangyi Pahto
|
|
Nongkrong di atas pagoda sampil nunggu sunset |
Keputusan untuk tidak
mengejar sunrise ternyata tepat, karena pagi ini cuaca berawan cenderung mendung jadi gag nyesel deh bangun aga siang.
Aga teler juga nih abis sepedaan kemaren semua badan rasanya pegal semua, kalau
kata mba Ninik “gini kali yaah.. rasanya disodomi ….”…. @_@. Walopun badan
sakit kami tetap mau sepedaan sih, jadinya hari itu kami habiskan dengan
berkeliling-keliling Nyaung-U dengan sepeda, tadinya mau ke New Bagan, tapi
berhubung jauh dan cuaca mau hujan kami memutuskan untuk berkeliling sekitar
Nyaung-U saja. Sekedar foto ataupun nongkrong di kafe atau restoran.
Hari ke – 5 : Menuju Inle Lake
Tiket Bagan – Inle Lake
(Taung-Gyi) sudah kami beli sehari sebelum berangkat di . Harganya Ks 11.000 perkiraan
berangkat jam 6.30 pagi tapi molor ke jam 7. Busnya ber-AC tapi tidak berasa
sama sekali ACnya, makin siang malah makin panas. Udah gitu jalannya
lamaaaaaaaaa banget, pokoe supir-supir Myanmar kalah sama supir2 AKAP Indonesia
:D.
Kalau pada 2 perjalanan
sebelumnya hanya kami yang orang asing, perjalanan kali ini malah 90%nya orang
asing. Yang orang lokalnya hanya sekitar 5 – 6 orang saja. Busnya padat karena
Inle Lake merupakan salah satu tujuan wisata Myanmar yang cukup terkenal. Bus
berhenti hanya 1 kali untuk makan siang, pada saat itulah mulai terasa cuaca
yang sejuk. Perjalanan yang semula lurus dan datar berubah menjadi menanjak dan
berkelok-kelok. Pemandangan bukit-bukit hijau mulai mendominasi wilayah yang
sedang kami lewati (jangan tanya daerah apa… gag bisa bacaaaa). Delapan jam
kemudian bus berhenti. Kirain udah sampe ternyata belum aja tuh. Rupanya bus
berhenti di Kalaw untuk menurunkan beberapa turis. Kalaw adalah salah satu
daerah tujuan wisata yang sekarang mulai banyak penggemarnya. Jika anda
penggemar trekking mungkin bisa melalukan trekking dari Kalaw sampai ke Inle
Lake. Ada paket 1, 2 atau 3 hari tergantung keinginan dan akan menginap di rumah2
penduduk. Banyak travel agent di sekitar Kalaw atau Inle Lake yang
menawarkan paket-paket ini. Setelah Kalaw perjalanan lanjut melewati Heho
(Airport terdekat dengan Inle Lake) dan kemudian sampailah di Shwe Nyaung 1
jam kemudian.
|
Kota Nyaung Shwe |
Shwe Nyaung adalah pertigaan (junction) tempat berhenti bus untuk menurunkan penumpang yang hendak ke Nyaung Shwe. Jangan bingung yaaa, nama tempatnya bener ko, Shwe Nyaung dan Nyaung Shwe :D. Nyaung Shwe adalah kota
terdekat dengan Inle Lake dan di tempat inilah terdapat banyak penginapan
dengan harga yang terjangkau. Sebenernya di Inle Lake juga ada tapi lumayan
mahal dan lebih terisolir karena penginapannya berupa cottage dan berlokasi
diatas danau. Untuk sampai ke Nyaung Shwe dari pertigaan Shwe Nyaung kami harus naik kendaraan ke Nyaung Shwe kurang lebih 13km.
Kami berhasil mendapatkan taxi dengan membayar Ks 3.000 plus taxi tersebut akan
membantu kami mencari-cari penginapan. Oh iya, sebelum masuk gerbang Nyaung
Shwe, ada loket untuk membayar entry fee sebesar USD 5.00 untuk para traveler
asing. Setelah ngubek2 Nyaung Shwe
akhirnya kami memutuskan untuk nginap di Aung Mingalar Guest House dengan harga
USD 25.00/malam untuk kami bertiga. Kamarnya AC (sebenernya ga perlu sih karena
udaranya sejuk), dapat handuk dan ada air panasnya serta breakfast. Letak GH
ini aga jauh dari jetty tempat perahu-perahu yang menuju ke Inle lake bersandar
tapi kami terlanjur suka dengan GH ini :D.
Setelah istirahat sebentar
kami lanjut jalan-jalan keliling kota Nyaung Shwe. Kota ini tidak besar tapi
menyenangkan. Kemanapun mata memandang pasti terlihat jajaran bukit-bukit hijau
yang cantik mengelilingi. Tidak terlalu ramai dan lebih banyak bisa berinteraksi
dengan masyarakat lokal. Kami mampir ke travel agent yang menawarkan paket ke
Inle Lake ternyata lebih murah dari yang ditawarkan oleh GH kami. Jika di GH
memberikan harga Ks 18.000/perahu (1 perahu max 5 orang) di travel agent ini
hanya Ks 15.000/perahu. Dan kami memutuskan untuk memesan di travel agent ini
dimulai dari jam 6.30 pagi.
Kami lanjut memasuki warung
kelontong orang lokal untuk lihat-lihat daann membeli 1 botol Rum Myanmar
(alcohol 40%) yang sangat muraaah hanya Ks 5.00 sekitar 500ml hehehe. Myanmar
merupakan salah satu produsen minuman2 keras. Ada liquor, rum, beer dan juga
wine. Sang pemilik toko juga berbaik hati memberikan Mira satu batang rokok
Myanmar. Puas liat-liat di toko acara JJS berikutnya adalah mencari makan
kemudian kembali ke penginapan untuk beristirahat. Yak, jam 9 malam dan kota
Nyaung Shwe sudah sepi yang ada hanya para turis-turis yang seliweran untuk
kembali ke penginapan masing. Saya masih menyempatkan diri untuk ke internet
café sekedar untuk menghubungi teman yang ada di Yangon, itupun pake acara
ngambeg sama pemilik karena connection internetnya kampret abis ……
Hari ke – 6 : Keliling Inle Lake
|
Perahu bermotor yang akan membawa ke Inle lake |
Setelah mandi dan sarapan kami berangkat pukul 6.30 pagi. Kemudian jam 7 pagi tepat kami langsung menuju ke Inle lake dengan menggunakan perahu long tail boat yang sebenarnya cukup untuk
berlima tapi hanya kami gunakan bertiga saja. Cuaca pagi itu berawan
cenderung mendung tetapi tidak mengurangi perasaan senang karena akan
menjelajah Inle Lake pagi ini, suasana baru tegas saya dalam hati. Perjalanan
dimulai dari dermaga dan sekitar 30 menit kemudian kami sudah memasuki areal
Inle Lake. Kalo saya ingat beda-beda tipis sama danau Toba di kampung halaman
saya, bedanya di Inle Lake ini airnya tidak sebiru danau Tona malah cenderung
cokelat. Awal perjalanan kami sangat excited tapi lama kelamaan kami mengkeret karena udara dingin menerpa kami sepanjang perjalanan dan saya hanya memakai
celana pendek berasa saltum. Ga bawa jaket pula…brrrrr.
|
Intha Row |
Inle Lake terletak di Shan
Sate dengan luas permukaan mencapai 116km2. Merupakan danau terbesar kedua di
Myanmar dan berada di ketinggian 1.320 meter (dari berbagai sumber). Dari kejauhan tampak rumah-rumah penduduk
yang berada di atas air dan juga floating garden yang sangat menarik, terkadang
terlihat beberapa perahu dengan nelayan yang sedang mengayuh dengan menggunakan
kaki. Teknik leg rowing ini adalah yang sangat populer di Inle Lake dan
pastinya menjadi sasaran bagi turis yang membawa kamera, termasuk saya. Teknik
ini digunakan karena danau Inle dipenuhi oleh alang-alang serta tumbuh2an lain
yang hidup di air sehingga mereka harus berdiri untuk melihat tumbuhan tersebut
sehingga perahu tidak nyangkut dan terciptalah teknik leg rowing yang sangat
terkenal itu. Saat yang tepat untuk mengunjungi tempat ini menurut masyarakat
sekitar adalah sekitar bulan September – Oktober dimana terdapat festival yang
berlangsung selama 3 minggu.
|
perkampungan Nampan |
|
Perkampungan Nampan |
Kurang lebih hampir 2 jam
kami diatas kapal.. dan hampir mati gaya ketika akhirnya tiba di tujuan pertama
kali yaitu Tau To. Sebelumnya kami sempat melewati daerah yang bernama Nampan
dimana tinggal penduduk yang rumahnya di atas air. Di Tau To terdapat pasar
yang cukup menarik untuk dilihat. Karena saat ini adalah musim panas
menyebabkan air danau menyurut dan floating market tidak ada… *Sigh*. Kami
harus puas dengan pasar tradisional di Tau To. Beruntunglah kami yang bersedia bangun pagi sehingga bisa sampai ke tempat ini pada saat yang tepat karena tidak lama kami sampai pasarnya sudah mulai bubar
walaupun masih banyak juga pedagang yang jualan. Suasana gerimis mengiringi penyusuran kami sepanjang pasar. Saya dan teman2 juga sempat membeli aksesoris di tempat
ini. Banyak yang bisa kami lihat di tempat ini. Sebagaimana layaknya pasar tempat bertemunya penjual dan pembeli, buat saya orang-orang lokal nya yang sangat menarik. Bagaimana mereka melihat kami yang 'perawakannya' Myanmar banget tapi pake celana pendek berfoto-foto pulak. Aga risih juga sih soalnya mereka melihat mereka dari ujung kepala sampe ujung kaki, tapi ya udah lah yahh nasib jadi turis :D.
|
ibu-ibu yang sedang berjualan dan berbelanja di pasar Tauto |
Dari Tau To kami melanjutkan
perjalanan ke tempat tenun yang terbuat dari getah lotus. Nah,.. baru dengar
kan??? Cukup menarik juga cara pembuatannya karena getah lotus ditarik kemudian dijadikan semacam benang memanjang setelah itu ditenun oleh mereka.
Sayangnya harganya lumayan mahal untuk kantong saya. Perjalanan lanjut
menuju pabrik rokok. Disini saya sempat mencoba rokoknya. Saya kira berat
ternyata lebih ringan dari rokok filter di Indonesia. Mungkin karena tembakau
yang dipakai tidak dirajang halus seperti di Indonesia melakukan di cincang
kasar. Ada dua jenis rokok yang dijual disini yang pertama untuk obat (ga
ngerti dimana obatnya) harganya Ks 1500/batang dan satu lagi beraroma manis
dengan harga Ks 1000/batangnya. Semua bahan di linting sendiri dan terbuat dari
bahan alami. Seperti kertasnya dari daun dan filternya dari … apa yak, lupa
hehehehe.
|
berkunjung ke Pabrik Rokok |
Perjalanan berlanjut, awan
mendung dan gerimis yang tadi bergelayut kini berganti dengan panas terik
matahari dan langit biru, tapi tidak semua area danau terkena tampak di kejauhan
awan dan hujan di beberapa lokasi di danau tersebut. Beberapa kali terlihat
beberapa petani sedang menggarap di kebun air mereka atau lebih dikenal dengan
floating garden. Guide kami sempat mengarahkan kami ke pagoda namun kami tolak
karena waktu yang mepet dan terus terang saja kami sudah mabok sama pagoda. Dan pagoda pun kami sekip untuk kemudian lanjut makan siang.
Pada saat makan siang hujan
mulai mengguyur wilayah restoran dimana kami makan. Sambil menunggu makanan
jadi kami menikmati Inle Lake sebisa mungkin. Sayangnya kami juga tak bisa
lama-lama bersantai makan siang, karena kami harus lekas kembali ke Nyaung Shwe
untuk selanjut mengejar bus ke Yangon sore ini. Setelah makan siang kami sempat
mampir ke tempat dimana para perempuan suku long neck menenun pakaian. Saya
kira akan pergi ke desa tempat suku long neck berada ternyata hanya ada 3 orang
perempuan suku long neck. Sepertinya mereka dibawa ke Inle Lake untuk dijadikan
‘atraksi’ bagi para pengunjung Inle Lake. Dan yang lucunya para wanita ini
semua sadar kamera, karena beberapa kali saya mau ambil candid mereka pasti
langsung sadar dan pasang senyum dimuka….. xixixixi.
|
Wanita Suku Long Neck sedang menenun |
Lepas dari suku long neck
kami melanjutkan perjalanan pulang menuju Nyaung Shwe. Untung sepanjang
perjalanan matahari bersinar dan langit menjadi biru. Udara tidak lagi terlalu
dingin, tetapi saya masih menggunakan payung yang dipinjamkan dari perahu untuk
menghindari percikan-percikan air danau ke tubuh kami. Tak lama kami tiba di
dermaga Nyaung Shwe dan segera kembali ke GH untuk mengambil backpack kami yang
sudah kami titip di receptionist.
|
landscape Inle Lake |
Tiket bus ke Yangon sudah
kami beli sehari sebelumnya melalui reception GH. Harganya Ks 15.000/orang dan
ini adalah tiket bus paling mahal dari semua tiket bus yang pernah kami beli
sebelumnya dan perjalanan akan memakan waktu 12 jam. Mudah2an busnya bagus deh
pikir saya dalam hati. Bus akan berada di junction Shwe Nyaung jam 5 sore,
untuk itu kami harus berada di junction jam 4.30 sore. Dari Nyaung Shwe kami
naik semacam angkot dengan harga Ks 1000/orang. Disini kami berkenalan dengan
dua orang traveler perempuan yang pertama dari Korsel namanya Won dan dari China kalo yang ini
saya lupa namanya. Sepanjang perjalanan Nyaung SHwe ke Shwe Nyaung pemandangan indah
dari bukit hijau dan persawahan di timpa matahari sore yang cantik, sempat saya
melihat pelangi menaungi bukit tersebut.
Pada saat kami tiba di Shwe
Nyaung, sudah banyak para travelers yang menunggu bus baik ke
Yangon, Bagan ataupun Mandalay. Bus tiba sedikit molor dari jadwal yang
ditetapkan dan kami berangkat 30 menit lebih lama dari jadwal. Ternyata busnya bagus dan dingin banget brrr…… alamat gag bisa tidur nih malam ini,
gag ada selimut pulak pikir saya. Kami
juga mendapatkan 1 botol air minum dan lagi-lagi 1 set handuk basah beserta
sikat gigi dan odolnya. Bus berhenti sebanyak 2 kali selama perjalanan
untuk makan malam dan beristirahat. Untungnya kami bisa tidur di bus karena AC
bus dimatikan setiap beberapa saat oleh sang supir. Mungkin dia tau kali ya
kalo kita kedinginan.
Hari ke – 7 : Tiba di Yangon
Kami tiba diiringi gerimis
di Yangon jam 6 pagi tepat. Ber-empat bersama Won kami bernegosiasi taxi untuk
menuju ke tujuan kami masing-masing. Kalau Won sudah ada penginapan, kami bertiga sama
sekali belum ada, tapi kami tau tujuan kami adalah Sule Pagoda. Akhirnya kami
mendapatkan taxi dengan harga Ks 7.000 untuk kami berempat. Kali ini taxinya
lebih kecil tapi baru. Kota Yangon di pagi hari itu sepi dan saya baru ingat
kalau hari itu adalah hari Sabtu. Jalan-jalan lengang dan belom tampak mobil
disana-sini. 1st Impression saya terhadap kota ini adalah rapih dan
teratur.. ato mungkin karena masih pagi yak. Tiga puluh menit kemudian
kami tiba di Sule Pagoda dan Won kembali melanjutkan perjalanan ke penginapan
dia. Sebelumnya kami berjanji akan bertemu keesokan harinya karena kebetulan
kami akan berada di satu pesawat dari Yangon menuju Kuala Lumpur.
Kami berjalan menyusuri
gang-gang di sekitaran jalan Mahanbandoola. Tempat yang kami susuri berupa jalan
yang cukup untuk dua mobil dan kiri kanan adalah gedung-gedung bertingkat yang
sudah lama cenderung lapuk, dinding-dindingnya banyak lumut atau terkadang
kayu-kayu lapuk. Sebenernya jalannya cukup bersih tapi suasana gedung di kanan
kiri jalan membuat lembab suasana. Kami mampir di Okinawa GH tempat teman kami
Itong dan Abhu sebelumnya pernah menginap sewaktu ke Yangon. Sayangnya tempat
itu baru akan kosong setelah check out. Kami kembali menjajah daerah sekitar
Sule Pagoda sesuai dengan petunjuk buku Lonely Planet. Cukup susah memang untuk
mencari penginapan di Yangon. Satu jam kami mencari akhirnya kami
bersepakat untuk memilih Mahabandoola GH yang sangat tidak rekomen. Apa boleh
buat tubuh sudah penat ditambah lagi kami sedang tidak enak badan.
|
Gedung-gedng di Yangon |
Masih jam 9 pagi, tapi kami
memutuskan untuk mandi dan beristirahat sebentar dan kami keluar saat jam makan
siang. Kebetulan juga saya sudah janjian dengan Couchsurfer US yang berdomisili
di Yangon kami janjian akan dinner dengan dia. Pada saat kami keluar jam 12
siang sekitar Sule Pagoda sudah ramai dengan bus-bus yang berlalu lalang serta
masyarakat yang sedang melakukan kegiatan masing-masing. Kalau di Inle Lake
atau Bagan dan Mandalay saya hanya bertemu orang-raong lokal Myanmar, di Yangon
lebih bervariasi lagi. Ada orang Bangladesh, China, Burmese semuanya bercampur
jadi satu. Dan seperti layaknya kota besar yang selalu terburu-buru melakukan
segala sesuatu. Aga bingung juga sebenernya untuk beradaptasi dengan ritme
Yangon tapi lama-lama kami terbiasa.
Yang pertama kali harus saya
lakukan adalah menelepon KK dan kemudian Ryan dengan menggunakan telpon ‘umum’
di pinggir jalan. Bukan seperti layaknya telpon umum yaa, tapi telpon milik
seorangan yang di taro dipinggir jalan kemudian setiap kali telpon akan di
timer. Saya lupa berapa tariffnya tapi kalo ga salah untuk telpon lokal sekitar
Ks 5/menit dan untuk Ks 50/menit untuk interlokal dan handphone. Dengan Ryan
kami tidak jadi dinner melainkan bertemu saat tea time di apartemennya dia.
Saya sudah catat alamat lengkapnya dan janji akan datang jam 3 sore. Phhiuuhh…
mudah-mudahan sampe nih.
Siang itu cuaca berawan dan
udaranya panas, lalu lintas Yangon cukup padat dan boleh dibilang semrawut.
Berjalan kaki di trotoar juga penuh perjuangan karena banyak sekali pedagang
yang membuka lapak disini. Yah.. ga jauh beda sama Jakarta gitu deh. Kami
menemani Mira yang sedang mencari obat mata karena matanya bengkak terkena
iritasi. Rupanya sepanjang jalan yang sedang kami lewati siang ini semuanya
bersini tempat praktek dokter dan apotik-apotik dan pastinya tertulis dengan
aksara Burma dong.
|
Yangon |
|
Yangon |
Kayanya ini adalah pembelian
obat mata terlama yang pernah dibeli. Secara yaa, pelayannya ga ada yang ngerti
bahasa inggris sama sekali udah gitu. Dipindah-pindah dari satu toko ke toko
yang lain. Ternyata di Yangon itu untuk semua apotik di klasifikasi maksudnya
kalau untuk membeli obat mata harus beli di apotik yang khusus untuk mata. Jadi
pergilah kita ke American Vision (sesuai instruksi) yang khusus untuk mata.
Dari mulai dokter sampai apoteknya. Setelah obat mata terbeli kami lanjut makan
di restoran Thai yang ternyata lumayan enak loh. Saya lupa namanya restorannya
tapi posisinya berada persis di sebelah American Vision tempat kita beli obat
mata itu.
|
Yangon |
Waktu menunjukkan pukul 2
siang ketika selesai makan siang. Kami keluar dari restoran dan langsung
mencari taxi kemudian menunjukkan alamat yang telah disebutkan oleh teman kami
tersebut. Taxi pertama menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak tahu alamat.
Kedua.. ketiga.. ke-empat sampai akhirnya kami memutuskan untuk menelpon
kembali dengan hasil tidak diangkat. Lima belas menit lagi jam tiga dan kita
masih di downtown, no idea apakah alamat itu dekat atau jauh. Kami mencari
internet café untuk kirim email dan begitu dapet semuanya full oleh anak-anak
yang lagi main online game… arrggghh. Mba Nik menyarakan untuk telpon yan
gterakhir kalinya, karena terus terang saja kami sudah putus asa. Saya
menelepon ulang dan kali ini diangkat, kemudian saya menjelaskan duduk masalah
dan berharap agar teman saya itu berbicara dengan orang lokal langsung dan
menjelaskan kepada mereka. Dan akhirnya alamat tersebut di tulis ulang dengan
menggunakan aksara lokal…!! Kemudian ditunjukkan ke taxi driver untuk
mengantarkan kami langsung ke tempat dengan harga Ks 3.000. Well, hanya beda Ks
500 dari yg disebutkan oleh Ryan. Dan kamipun tiba dengan selamat di tempat
teman kami itu. Disana saya bertemu oleh Ryan (CS dari Amerika) dan isitrinya
Merry yang asli Myanmar serta kolega Ryan, Jason dan Emily yang pada saat itu
sedang berada di Yangon untuk sebuah proyek sosial mereka. Kira-kira kami
habiskan waktu 1 jam lamanya untuk ngobrol dengan mereka. Banyak yang kami
bicarakan termasuk mereka bertanya tentang Indonesia.
|
bersama Won, teman jalan dari Korsel |
Setelah dari tempat Ryan,
kami pindah tempat ke Sakura Tower. Tempat ini direkomendasikan oleh Won, teman
kami dari Korsel, untuk melihat kota Yangon pada saat sunet. Sakura Tower
terletak di downtown kota Yangon dekat dengan Sule Pagoda hanya sekitar 100
meter jaraknya. Sakura tower adalah gedung tertinggi di Yangon dimana kita bisa
melihat kota Yangon 180 derajat. Kami menghabiskan sore kami sambil memandangi
sunset. Harga minuman di tempat ini sekitar Ks 3.000 – Ks 5.000 untuk satu
gelas fresh juice. Cukup pantas dengan pemandangan yang bisa saya liat saat
ini.Ditempat ini juga kami tidak sengaja bertemu dengan Won :D
|
pemandangan dari Sakura Tower |
Dari Sakura tower bisa
terlihat Yangon river dan Sule Pagoda diterpa sinar matahari sore. Kemudian
megahnya Shwedagon Pagoda ditengah-tengah hijaunya suasana kota. Lalu national
Stadium Myanmar dan juga Stasiun kereta api yangletaknya tak jauh dari lokasi
SakuranTower. Sebenernya untuk menjelajah kota Yangon bisa dilakukan dengan
naik kereta selama 3 jam dengan hanya membayar USD 1.00 saja seperti yang
dilakukan oleh teman saya Itong satu tahun yang lalu. Lagi-lagi karena waktu yang
tidak cukup kami harus melewatkan kesempatan ini. Kesempatan untuk mengunjungi
rumah dari Aung San Su Kyi yang terletak persis dibelakang Inya Lake juga
terpaksa kami lewatkan. Huhuhuhu.. sedih juga banyak yang terlewatkan karena
saya jatuh sakit di hari-hari terakhir saya liburan. But the show must go on.
Hari itu kami tutup dengan
mengunjungi supermarket lokal. Sekedar untuk melihat-lihat dan berbelanja
beberapa keperluan. Sepanjang jalan menuju supermarket itu banyak sekali jualan
makanan-makanan lokal sayangnya saya sudah kehilangan selera untuk makan karena
sakit. Setelah selesai berbelanja di supermarket kami bergegas kembali ke GH
dan menyempatkan diri sebentar untuk beberapa tempat diwaktu malam.
|
Sule Pagoda di malam hari |
Hari ke – 8 : Last day in Myanmar
Kami bangun dan bergegas
packing. Supir taxi yang kmaren kami naiki sudah kami booking dan sekarang
sudah menunggu dibawah. Setelah check out kami menuju ke Shwedagon Pagoda.
Salah satu tempat di Yangon yang tidak mungkin kami lewatkan. Waktu menunjukan
pukul 12 siang ketika kami sampai di Pagoda yang megah ini. Tiket masuk untuk
orang asing adalah USD 5.00/orang sedangkan untuk orang lokal ya ga bayar kalee
:D. Pintu masuk dan lift yang digunakan untuk orang asing juga beda. Lebih sepi
dibanding pintu orang lokal. Ya eyalaaaahhh!!! :D
|
Masyarakat Yangon datang untuk berdoa |
Shwedagon Pagoda atau
dikenal juga dengan nama Pagoda Emas berumur sekitar 2500 tahun (ternyata udah
tua) terletak di atas tanah seluas 114 hektar di kota Yangon. Pagoda ini
berlapiskan emas dan pada pucak pagoda terdapat kurang lebih 4500 berlian dan
yang terbesar berukuran 72 karat. Pagoda ini merupakan pagoda suci bagi
masyarakat Myanmar. Tidak heran di hari Minggu itu Shwedagon pagoda sangatlah
ramai oleh pengunjung lokal sekedar untuk berdoa. Ada empat pintu masuk menuju
ke pelataran pagoda; Utara, Selatan, Timur dan Barat. Seperti halnya
pagoda-pagoda yang kami kunjungi sebelumnya, sepatu, alas kaki serta kaos kaki
tidak diperbolehkan untuk dipakai dan bisa dititip di pintu masuk dekat loket
masuk. Puas dengan foto-foto didalam sambil melihat-lihat pagoda yang menurut
saya indah tersebut, kami lanjut makan siang di sekitar pagoda setelah itu ke
Bogyoke market untuk BELANJA!!! HOREEE...!!!
|
Shwedagon pagoda |
Bogyoke market atau yang
dulu dikenal dengan nama Scott’s market adalah pasar dengan arsitektur kolonial
Inggris yang masih dipertahankan keasliannya. Dibangun sekitar tahun 1926 pada
saat dijajah oleh Inggris. Tempat ini merupakan tempat yang sangat diminati
oleh wisatawan asing termasuk kami :D. Disini kami memuaskan keinginan kami
untuk berbelanja. Maklumlah, dari awal mendarat sampai hari terakhir kami
memendam keinginan berbelanja maunya suapay di hari terakhir bisa ubek-ubek
pasar ini. Dari waktu yang kami tetapkan hanya 1 jam, molor sampai 2 jam. Itupun
masih kurang. Sebenarnya pernak pernik Myanmar ga jauh beda dengan Laos,
Kamboja dan negara Indochina lainnya. Tapi tetap aja yaa, namanya juga
perempuan kalo ga masuk pasar sekedar untuk liat2 memuaskan keinginan kayanya
ga afdol hehehhe.
|
Didalam Bogyoke Market |
Penjelajahan kami di Bogyoke
market harus berakhir dengan segera karena kami harus segera ke airport. Kami
kembali ke taxi sewaan dan langsung menuju airport. Perjalanan 30 menit menuju
bandara diiringi oleh hujan yang turun di kota Yangon. Seakan-akan ikut
bersedih dengan kami yang harus pergi meninggalkan Myanmar yang menurut saya
masih sangat otentik ini.