Tulisan kali ini mau cerita tentang sebuah museum yang gue, Fajar, Hola, Milla, Indah, Dee dan Declan kunjungi pekan lalu di sebuah daerah di Tangerang Kota, tepatnya daerah Pasar Lama Tangerang dekat dengan aliran sungai Cisadane, nama museumnya adalah Museum Benteng Heritage (MBH) yang merupakan Museum Peranakan pertama di Indonesia. Menarik kan ?? :D
|
pintu masuk MBH |
Begitu rombongan lengkap, kami langsung menuju ke MBH dengan melewati jalan setapak kurang lebih 200 meter menuju MBH. Sebelum menuju museum, kami harus melalui Klenteng Boen Tek Bio dan juga pasar yang sudah hampir sebagian besar tutup. Karena sudah menjelang jam 3, kami tidak mampir ke klenteng tapi langsung menuju museum. Bau amis pasar bercampur sampah membayangi perjalanan kami sampai ke museum. Siapa yang sangka ditengah hiruk pikuk pasar yang selalu rame terdapat bangunan dua lantai dengan nuansa Tionghoa kental. Untuk bisa ikutan tour MBH kami harus menunggu tepat jam 3 sore dengan seorang guide. Setelah membayar karcis kamipun langsung masuk ke dalam di guide oleh Wiwit. Salah satu syarat berkunjung ga boleh foto dan pegang-pegang barang museum, jadinya kami hanya puas dengan melihat-lihat sambil menyimpan dalam memori otak kami :D.
|
Loket Karcis masuk |
MBH dulunya sebuah rumah yang kemudian dibeli dan direstorasi oleh seorang Tionghoa peranakan bernama Udaya Halim yang adalah akamsi alias anak kampung sini. Karena pak Udaya sendiri lahir tidak jauh dari lokasi museum ini berdiri. Bangunan ini diperkirakan dibangun abad ke-17 yang kemudian mulai di restorasi pada tahun 2009 untuk dikembalikan ke bentuknya semula yang merupakan bangunan tradisional asli Tionghoa. Restorasi ini selesai dua tahun berikutnya yang kemudian diresmikan tanggal 11 November 2011 (kebetulan lihat prasastinya di depan rumah hehehhehe). Di lantai dasar kami dijelaskan tentang bangunan museum ini sendiri serta berbagai foto lukisan Pasar Lama.
|
Lantai Dasar MBH yang juga berfungsi sebagai restoran |
|
Suasana pasar (sudah tutup) di sekitar MBH |
Lanjut ke lantai dua kami harus melepas alas kaki untuk menjaga kebersihan dari museum tersebut. Di lantai dua kami menemukan benda-benda artefak yang berhubungan dengan sejarah peranakan Tionghoa di Indonesia, salah satunya adalah cerita Laksamana Ceng Ho dengan rombongan armadanya yang berjumlah sekitar 300 kapal dengan jumlah pengikut kurang lebih sekitar 30.000 orang. Ada sejarah bounded feet; kalo yang ini aga serem sih, karena wanita-wanita Tionghoa jaman dulu kakinya dibuat kecil, karena katanya semakin kecil semakin cantik, padahal modusnya wanita-wanita itu dikekang. Pada jamannya wanita-wanita tersebut tidak boleh keluar rumah.
Kami juga melihat patung dewa-dewa orang cina, yang ternyata mereka awalnya juga seorang manusia. Tetapi karena bijaksana dan arif kemudian mereka dijadikan dewa *sumprit ini baru tau. Dari sini juga gue baru tau kalo bedug sebelum azan itu bukan kebudayaan dari Arab melainkan dari Cina. Pada saat itu, alat berkomunikasi yang paling bisa diandalkan di segala cuaca adalah dengan menggunakan genderang/tabuh/bedug. Disini juga kami ditunjukannya adat lengkap dari perkawinan peranakan Benteng.
|
mencoba buka pintu |
Hampir satu jam kami berkeliling, diceritakan dan di-guide oleh Wiwit ketika seseorang memanggil kami untuk masuk ke satu ruangan yang isinya membuat kami langsung menganga. Yak.. yang memanggil kami adalah sang pemilik Museum pak Udaya. Mau tau apa isi ruangan tersebut? Isinya adalah koleksi pribadi dari pak Udaya berupa kamera (dulu beliau seorang fotografer) dan gramophone serta vinyl recording dari jaman dulu kala. Surprisingly semuanya masih terawat dengan rapih. Disini kami berbicara banyak tentang sejarah peranakan Tionghoa di Indonesia dan juga sejarah kelam bangsa Indonesia. Selain cerita sejarah dab bercengkrama, kami juga bisa merasakan kejayaan musik-musik jaman dahulu kala yang abadi yang diputar memakai gramophone yang sudah berumur 100 tahun!!! Kalau menurut beliau tidak semua pengunjung bisa masuk ke ruang pribadi pak Udaya ini, makanya kami sungguh amat sangat beruntung bisa melihat koleksinya.
Ga tau karena kami yang cerewet luar biasa yang pasti selesai kami berbincang hampir 1 jam lebih kami disuguhkan teh khusus diruangan bawah. Oh iya.. selain sebagai museum, MBH juga membuka restoran dengan menu peranakan. Salah satunya adalah Lontong Cap Gomehn ueenaakkk yang disediakan GRATIS buat kami semua hehehehe, kalo yang ini diluar kebiasaan. He said: you are all my VVIP guests *jadi terharu*
|
Lontong Cap Gomeh - dinner with pak Udaya ^_^ |
|
Dodol dan kecap oleh2 beli dari MBH |
Di MBH juga ada souvenir untuk dibeli, kebetulan gue seperti yang lain beli Dodol buatan Ny. Lauw (ini enak banget udah gue coba dan udah abis ga sampe 2 hari >.<) dan juga kecap benteng yang terkenal karena enaknya, cuma tenggelam aja namanya dengan kecap2 merek lain.
Buat gue, kunjungan ke MBH adalah sebuah pengalaman luar biasa yang pastinya menambah pengetahuan tentang keberadaan saudara-saudara peranakan Tionghoa di negeri Indonesia ini.
Thank you for keeping the history Pak Udaya Halim. Salute for your passion!
Udaya Halim :
“Culture is borderless. It is like water and air. It is nourishing the soul. It takes and gives. It blends to build a character of a nation and to preserve Bhinneka Tunggal Ika,” taken from Jakarta Post
|
foto bareng pak Udaya beserta koleksi pribadinya :) |
Museum Benteng Heritage
Jl. Cilame No. 20, Pasar Lama
Tangerang
Telpon: 445.445.29
Email: info@bentengheritage.com
FB :
https://www.facebook.com/bentengheritage
Website:
http://www.bentengheritage.com
Jam Operasional:
Selasa - Minggu, Senin Tutup
Guided Tour : jam 13.00 - 18.00
Tour berlangsung selama 45 menit
Jumlah peserta dibatasi 20 orang per tour
HTM:
Umum Rp 20.000
Pelajar Rp 10.000
Mahasiswa Rp 15.000
Orang Asing Rp 50.000
Heritage Walk Rp 50.000/orang (maksimal 10 orang)